Selamat Datang di Website blogger Jhon Demos Silalahi

14 Des 2012

FIFA, Tolong Hukum Kami

Dua hari setelah tragedi Stadion Heysel Belgia yang menewaskan 39 suporter di final Liga Champions, FA Inggris dengan dukungan Perdana Menteri Margaret Thatcher mengeluarkan keputusan keras (31 Mei 1985). Mereka melarang seluruh klub Inggris bermain di Eropa.

FA sadar dan mau mengakui bahwa sepak bola Inggris ketika itu penuh dengan masalah, terutama kekerasan suporter (hooliganisme). "Kita harus membersihkan sepak bola dalam negeri dari hooliganisme, baru setelah itu mungkin kita bisa bermain lagi di luar negeri," kata Thatcher ketika itu.

UEFA sendiri kala itu hanya menghukum Liverpool yang dinilai tak mampu mengendalikan suporternya di Belgia. Tetapi FA meminta dan menyatakan hukuman diterapkan kepada seluruh klub Inggris dengan durasi yang lebih panjang: 5 tahun.

Hebatnya, tidak satu pun klub Inggris protes. Tidak Manchester United, Arsenal, Southampton, Everton, atau siapa pun. Tidak ada ucapan: "Mengapa kami ikut disalahkan, bukankah hanya Liverpool yang terkait tragedi itu?" Ini menandakan, klub juga sadar bahwa sepak bola mereka, khususnya saat itu, penuh masalah.

Masalah. Itulah yang dimiliki dunia sepak bola Indonesia sementara ini. Masalah yang sudah terjadi dalam dua dekade. Tetapi para pengelola sepak bola negeri ini begitu jumawa dan mati-matian mempertahankan atau memperebutkan PSSI. Bila dipikir menggunakan akal sehat, konflik ini tidak logis.

Memperebutkan ladang minyak dan emas bisa dipahami karena ada peluang keuntungan yang besar di sana. Tetapi memperebutkan pengelolaan sepak bola Indonesia yang tidak berprestasi, tidak membanggakan, serta penuh keributan dan penganiayaan wasit atau pemain? Patut dipertanyakan.

Konflik sepak bola Indonesia dimulai sejak kemunculan Liga Prima Indonesia (IPL). Secara umum, IPL memiliki konsep dan manajemen pertandingan yang ideal beserta pendekatan statistik. Pertandingan digelar di akhir pekan. Sesekali di tengah pekan.

Konfigurasi pertandingan IPL tidak berantakan seperti Liga Super Indonesia (ISL) yang dengan ngawur biasa menggelar pertandingan sepanjang minggu, termasuk di hari dan jam kerja. Tapi konsep pertandingan saja tak cukup karena secara tatanan tidak tepat. Desain besar IPL tak cukup untuk mendapat kredit bagus.

Lalu, rezim PSSI pimpinan Nurdin Halid (NH) tidak mengakui IPL. Dia dianggap kompetisi sempalan sehingga diadukan ke FIFA. IPL pun terpaksa berhenti di tengah jalan karena dihentikan oleh Komite Normalisasi yang dirujuk FIFA untuk menyelesaikan konflik.

Lanjutan cerita seperti sinetron yang mudah ditebak. Rezim pengusung IPL (Djohar Arifin) melakukan balas dendam saat berhasil menduduki kursi kepengurusan PSSI. Mereka mencuci bersih produk rezim lama PSSI, termasuk ISL.

Inilah lingkaran konflik berikutnya. PSSI rezim baru memang keliru melangkah. Mereka gagal merawat luka yang belum kering. Ironisnya, mereka pun lebih senang meladeni KPSI ketimbang mengurus sepak bola sendiri. Kloning sebagian kecil klub ISL bernama besar, apa pun alasan dan kronologisnya, menjadi senjata makan tuan yang sangat empuk.

PSSI memang tak mahir menyikapi konflik yang terjadi. Mereka memanggil para pemain ISL ke timnas. Mereka mau mengambil para pemainnya, tetapi tidak menjelaskan posisi klub dan ISL-nya di dalam yurisdiksi PSSI.

Makin runyam, rival PSSI adalah mereka yang sudah pengalaman dalam "bermain". KPSI mampu menggoreng isu, terutama menggunakan media lingkaran internal. Mereka ahli memainkan opini (spin doctor) dan mahir menggunakan metode psikologi terbalik (reverse psychology). Pendeknya, KPSI punya modal cukup untuk bertempur dan sekaligus "mengalahkan" PSSI.

Lalu, apakah KPSI benar-benar pintar mengelola sepak bola? Sayang sekali, sama sekali tidak! KPSI yang dulunya adalah rezim lama PSSI juga mandul menghasilkan prestasi yang bisa dibanggakan. Pada zaman mereka, sepak bola Indonesia lebih sering diwarnai keributan.

ISL selalu dihiasi olahraga "bela diri". Bahkan permainan brutal masih mudah ditemui sampai sekarang. Bukti terbaru terjadi ketika Persisam Samarinda bertemu Mitra Kukar di Inter Island Cup 2012 awal Desember lalu. Di zaman PSSI lama, sepak bola jadi praktik dagang sapi.

KPSI tak pernah berniat membangun sepak bola. Mereka hanya perlu sepak bola sebagai kendaran politik praktis dengan memanfaatkan basis pendukung klub sebagai lumbung suara.

Sepak bola Indonesia memang salah sejak awal, sejak lama. Masuknya orang-orang pemerintah (daerah) dan partai politik ke dalam tatanan kepengurusan, termasuk klub, tak pernah dibenahi. Andai ada usaha membenahi, itu hanya sekadar pencitraan.

Dengan segala masalah mendasar itu, memang ada baiknya FIFA menghukum Indonesia. Atau bila mengaca pada Inggris di tahun 1985, sepak bola Indonesia menghukum dirinya sendiri.

Mendapat sanksi tidak akan merugikan, toh sepak bola Indonesia juga kering prestasi dalam 2 dekade terakhir. Menutup diri bukan berarti Indonesia tidak bisa membangun sepak bola di dalam negeri. Kompetisi masih bisa berjalan seperti biasa. Penonton masih bisa hadir. Pedagang di sekitar stadion masih mungkin mencari nafkah. Hukuman FIFA hanya akan membuat timnas dan klub Indonesia tidak dapat bermain dengan tim asing di mana pun.

Tetapi konon sanksi malah akan menguntungkan KPSI karena mereka jadi punya kambing hitam. Di sinilah suporter dan pemangku kepentingan sepak bola Indonesia harus memainkan peran. Ayo tuntut pengelolaan sepak bola yang benar.

Mintalah hiburan dan pertunjukan pertandingan bermartabat. Bukan yang asal tebas kaki dan main pukul tanpa dihukum wasit. Mintalah klub untuk berbenah. Bahkan bila perlu, ajukan mosi tak percaya dengan absen ke stadion (meski ini sangat sulit diharapkan karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan).

Bila penonton, suporter atau mereka yang di luar kepengurusan ikut membiarkan sepak bola Indonesia terus memburuk, maka lebih baik sepak bola Indonesia dilipat.

Tutup saja sepak bola prestasi Indonesia. Menyerahkan sepak bola Indonesia ke tangan mereka yang tengah berkonflik saat ini sungguh hanya kesia-siaan.

Vin Diesel Puji Aktor Indonesia

Akting Joe Taslim di film The Raid mendapat pujian dari aktor ternama Hollywood, Vin Diesel.


Saat ini Joe Taslim dan Vin Diesel sama-sama sedang terlibat dalam proyek Fast and Furious 6 yang sudah masuk tahap pengambilan gambar.

Vin Diesel telah terlibat di Fast and Furious sejak film pertama, sementara bagi pejudo Joe Taslim, ini kali pertama dirinya main film Hollywood.

"Saya nggak nyangka, Vin Diesel bisa puji kualitas akting saya. Mereka (pemain fast 2 farious) mengaku nonton The Raid, lihat saya bagus katanya," kata Joe ditemui Ghiboo di Brew House, Jakarta, Kamis (13/12).

Joe menambahkan, "Dia bilang saya cocok main di film action."

Joe dapat terlibat di Fast and Furious setelah direkomendasikan sutradara The Raid, Gareth Evans, dan lolos casting.

"Yang jelas saya merasa sangat bangga mereka (pihak pembuat film) sudah mau meng-casting saya untuk filmnya," kata Joe.

TATA CARA PENGUCAPAN SUMPAH

         KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI (KEPMENDAGRI)
                  NOMOR 3 TAHUN 2000 (3/2000)
                            TENTANG
             TATA CARA PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI DAN
       PELANTIKAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

                     MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang :   a.   bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (4) dan Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perlu diatur mengenai Tata Cara Pengucapan Sumpah/Janji dan Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

              b.   bahwa tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri;

Mengingat :   1.   Undang-undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3363);

              2.   Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

              3.   Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1990 tentang Ketentuan Protokol mengenai Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata Penghormatan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3432);

              4.   Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1991 tentang Pakaian Dinas Pegawai di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, pejabat Wilayah/Daerah dan Kepala Desa/Kepala Kelurahan;

                         MEMUTUSKAN :

Menetapkan:   KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG TATA CARA PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI DAN PELANTIKAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH.

                             BAB I
                        KETENTUAN UMUM
                            Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1.   Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota.
2.   Wakil Kepala Daerah adalah Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota.
3.   Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten dan DPRD Kota.
4.   Pejabat adalah Pejabat yang berhak melantik Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atas nama Presiden.
5.   Penjabat Kepala Daerah adalah Pejabat yang ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang untuk melakukan tugas, wewenang dan kewajiban Kepala Daerah untuk kurun waktu tertentu.
6.   Pelantikan adalah Upacara Resmi Pengangkatan untuk memangku jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

                            BAB II
             PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI KEPALA DAERAH
                    DAN WAKIL KEPALA DAERAH
                            Pasal 2

Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji menurut agama yang dianutnya.

                            Pasal 3

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akan mengucapkan sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, terlebih dahulu ditanyakan kesediaannya untuk mengucapkan sumpah/janji dan agama yang dianutnya, oleh Pejabat yang memandu pengucapan sumpah/janji.

                            Pasal 4

Kata-kata sumpah/janji Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dan Pasal 56 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.

                            Pasal 5

(1)  Pengucapan sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bagi penganut agama diatur sebagai berikut:
     a.   Bagi penganut Agama Islam diawali dengan pengucapan kalimat "Demi Allah saya bersumpah";
     b.   Bagi penganut Agama Kristen Protestan/Katolik diawali dengan pengucapan kalimat "Saya bersumpah/berjanji" dan diakhiri/ditutup dengan pengucapan kalimat "Semoga Tuhan menolong saya";
     c.   Bagi penganut Agama Hindu diawali dengan pengucapan kalimat "Om Atah Paramawisesa";
     d.   Bagi penganut Agama Budha diawali dengan pengucapan kalimat "Demi Sang Hyang Adi Budha".
(2)  Bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang karena keyakinannya berkebaratan mengucapkan sumpah, diganti dengan mengucapkan janji.

                            BAB III
       PELANTIKAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
                        Bagian Pertama
                          Pelantikan
                            Pasal 6

(1)  Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi sebelum memangku jabatannya dilantik oleh Presiden atau Pejabat yang ditunjuk.
(2)  Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota sebelum memangku jabatannya dilantik oleh Presiden atau Pejabat yang ditunjuk.

                            Pasal 7

(1)  Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilantik di Ibukota Daerah yang bersangkutan.
(2)  Pelantikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan di gedung DPRD dan atau gedung lain dan tidak dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD.
(3)  Pelantikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihadiri oleh Pimpinan DPRD, Pimpinan Fraksi-fraksi, Anggota DPRD dan Pejabat-pejabat Pemerintah baik Sipil maupun TNI dan POLRI serta undangan lainnya atas undangan Pemerintah Daerah.
(4)  Apabila dengan pertimbangan keadaan atau situasi yang tidak memungkinkan, pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat dilaksanakan di Ibukota Negara atau Ibukota Propinsi.

                            Pasal 8

(1)  Pada acara Pengucapan Sumpah/Janji dan Kata Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan juga serah terima jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dihadapan Pejabat yang melantik.
(2)  Dengan pertimbangan keadaan atau situasi yang tidak memungkinkan, serah terima jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan pada waktu dan tempat yang ditentukan kemudian selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah tanggal pelantikan.

                         Bagian Kedua
        Tata Tempat, Tata Pakaian dan Tata Urutan Acara
                            Pasal 9

(1)  Tata Tempat Upacara Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, diatur sebagai berikut :
     a.   Di Meja Pimpinan terdiri dari :
          1.   Ketua DPRD duduk di sebelah kiri Pejabat yang akan memandu pengucapan Sumpah/Janji dan melantik;
          2.   Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada acara pelantikan, duduk secara berurutan disebelah kanan Pejabat yang akan memandu pengucapan Sumpah/Janji dan melantik;
          3.   Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akan diambil sumpah/janji, duduk secara berurutan di sebelah kiri Ketua DPRD;

          4.   Pejabat Kepala Daerah dan Pejabat Wakil Kepala Daerah yang lama setelah acara pelantikan, duduk secara berurutan di sebelah kiri Ketua DPRD.
     b.   Undangan diatur sesuai dengan kondisi ruangan.
(2)  Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akan dilantik pada saat pelaksanaan Pengucapan Sumpah/Janji dan Kata-kata Pelantikan, berdiri berhadapan dengan Pejabat yang akan melantik menghadap ke arah Meja Pimpinan.
(3)  Meja untuk pendanatanganan Berita Acara Sumpah/Janji, diletakkan di sebelah kiri Pejabat yang akan melantik.
(4)  Rohaniawan berdiri di belakang/di samping Pejabat yang akan mengucapkan Sumpah/Janji.
(5)  Pada saat serah terima jabatan, Pejabat Kepala Daerah yang lama berdiri di sebelah kanan Kepala Daerah.

                           Pasal 10

(1)  Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang akan dilantik, menggunakan Pakaian Dinas Upacara (PDU) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1991.
(2)  Pejabat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lama, Anggota DPRD dan para Undangan, menggunakan Pakaian Sipil Lengkap dengan Peci Nasional, dan bagi TNI dan POLRI berpakaian PDU-IV.
(3)  Perempuan berpakaian Nasional.

                           Pasal 11

Acara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan dengan urutan acara sebagai berikut :
a.   Kata Pengantar oleh Ketua DPRD propinsi atau yang mewakili;
b.   pembacaan Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh Pejabat dari Pemerintah Propinsi;
c.   Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh pejabat yang ditunjuk atas nama Presiden, yaitu :
     1.   Pengambil Sumpah/Janji jabatan;
     2.   Penandatangan Naskah Berita Acara Pengambilan Sumpah/janji Jabatan;
     3.   Kata-kata pelantikan;
     4.   Pemasangan Tanda Pangkat Jabatan, Penyematan Tanda Pangkat Jabatan serta Penyerahan Petikan Keputusan Presiden;
     5.   Penandatanganan Naskah Berita Acara Serah Terima Jabatan dilanjutkan dengan Penyerahan Memori Pelaksanaan Tugas Jabatan.
d.   Sambutan Pejabat yang ditunjuk;
e.   Pembacaan Do'a;
f.   Penyampaian Ucapan Selamat.

                           Pasal 12

Acara Pelantikan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota dilaksanakan dengan urutan acara sebagai berikut :
a.   Kata Pengantar oleh Ketua DPRD Kabupaten/Kota atau yang mewakili;
b.   Pembacaan Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Bupati/Walikota oleh Pejabat dari Pemerintah Kabupaten/Kota;
c.   Pelantikan Bupati/Walikota oleh Pejabat yang ditunjuk atas nama Presiden, yaitu :
     1.   Pengucapan Sumpah/Janji Jabatan;
     2.   Penandatangan Naskah Berita Acara Pengucapan Sumpah/janji Jabatan;
     3.   Kata-kata Pelantikan;
     4.   Pemasangan Tanda Pangkat Jabatan, Penyematan Tanda Jabatan dan Penyerahan Petikan Keputusan Presiden;
     5.   Penandatanganan Naskah Berita Acara Serah Terima Jabatan dilanjutkan dengan Penyerahan Memori Pelaksanaan Tugas Jabatan.
d.   Sambutan Pejabat yang ditunjuk;
e.   Pembacaan Do'a;
f.   Penyampaian Ucapan Selamat.

                           Pasal 13

Dalam keadaan khusus, Pakaian para undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

                           Pasal 14

Bentuk dan susunan Kata Pengantar Sumpah/Janji, Naskah Sumpah/Janji, Berita Acara Pengambilan Sumpah/Janji dan Kata-kata Pelantikan serta Naskah Berita Acara Serah Terima Jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

                            BAB IV
                  PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI DAN
               PELANTIKAN PENJABAT KEPALA DAERAH
                           Pasal 15

(1)  Penjabat Kepala Daerah sebelum memangu jabatannya dilantik oleh Pejabat yang ditunjuk atas nama Presiden.
(2)  Pelantikan Penjabat Kepala Daerah sebagaimana dimaksud ayat (1), diawali dengan pengambilan Sumpah/Janji menurut agama yang dianut.

                           Pasal 16

Pengucapan Sumpah/janji Penjabat Kepala Daerah berpedoman pada pengucapan Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

                           Pasal 17

Penjabat Kepala Daerah Kabupaten/Kota yang dirangkap oleh Kepala Daerah Propinsi tidak dilantik dan dapat dilaksanakan serah terima jabatan dari Mantan Kepala Daerah kepada Penjabat Kepala Daerah.

                           Pasal 18

Pelantikan Penjabat Kepala Daerah Propinsi, Kepala Daerah Kabupaten/Kota di Daerah yang baru dibentuk, dilaksanakan oleh Pejabat yang ditunjuk atas nama Presiden dan bertempat di Ibukota Propinsi, Ibukota Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, bersaman dengan peresmian pembentukannya.

                           Pasal 19

Pelantikan Penjabat Kepala Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18, diselenggarakan dalam satu acara resmi bertempat di :
a.   Lapangan, yang dihadiri oleh para undangan dan barisan upacara;
b.   Halaman Gedung atau di dalam Gedung, yang dihadiri oleh para undangan.

                           Pasal 20

Dalam keadaan khusus, Pelantikan Penjabat Kepala Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 dapat diselenggarakan di Ibukota Negara atau Ibukota Propinsi.

                             BAB V
                      KETENTUAN LAIN-LAIN
                           Pasal 21

Pada saat pengambilan Sumpah/Janji Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan atau Penjabat Kepala Daerah tidak diadakan Pengukuhan Sumpah/Janji oleh Rohaniawan.

                           Pasal 22

Dalam acara Pelantikan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dan atau Penjabat Kepala Daerah tidak ada penghormatan/pelaporan dari pejabat yang akan dilantik kepada Pejabat yang melantik dan tidak dibenarkan menyertakan acara lain.

                           Pasal 23

Pada acara Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk masa jabatan kedua, Penyematan Tanda Jabatan tetap dilaksanakan, kecuali Tanda pangkat Jabatan telah dipakai terlebih dahulu.

                            BAB VI
                       KETENTUAN PENUTUP
                           Pasal 24

Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1995 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 55 Tahun 1999 tentang Pengucapakn Sumpah/janji Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dinyatakan tidak berlaku.

                           Pasal 25

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

                                                                                              Ditetapkan di Jakarta
                                                                                              pada tanggal 20 Januari 2000

                                                                                             MENTERI DALAM NEGERI

                                                                                                                ttd.

                                                                                            SURJADI SOEDIRDJA