Menyerupai batu, alat ini mampu mendeteksi para pendatang haram.
Amerika Serikat menanggapi isu keamanan perbatasan dengan serius. Berbagai cara dilakukan untuk mencegah pendatang ilegal dan penyelundupan narkoba dari Meksiko masuk ke Amerika Serikat.
Selain memasang pagar dan
tembok, ditambah dengan petugas patroli, AS juga menempatkan tembok
virtual berupa sensor canggih yang mampu mendeteksi gerakan pendatang
haram dan secara otomatis mengirimkan bantuan ke lokasi.
Seperti dibeberkan BBC pekan
ini, alat sensor tersebut disamarkan menyerupai batu yang dapat
mengeluarkan radar gerak. Batu-batu sensor ini diletakkan di perbatasan
yang jauh dari pengawasan petugas.
Menurut pemerintah AS, terdapat 7.500 sensor yang diletakkan antara tahun 2003 dan 2007. Sensor yang dinamakan Unattended Ground Sensors (UGS) ini akan mengirimkan sinyal ke menara pengawas jika ada gerakan mencurigakan.
Dalam hitungan detik, menara akan mengirimkan pesawat nirawak yang dinamakan "desert phantoms" untuk menyisir lokasi. Pesawat ini mampu mendeteksi orang-orang atau kendaraan dari ketinggian hingga 6.000 meter.
Menurut pemerintah AS, terdapat 7.500 sensor yang diletakkan antara tahun 2003 dan 2007. Sensor yang dinamakan Unattended Ground Sensors (UGS) ini akan mengirimkan sinyal ke menara pengawas jika ada gerakan mencurigakan.
Dalam hitungan detik, menara akan mengirimkan pesawat nirawak yang dinamakan "desert phantoms" untuk menyisir lokasi. Pesawat ini mampu mendeteksi orang-orang atau kendaraan dari ketinggian hingga 6.000 meter.
Pesawat ini juga
dilengkapi tujuh kamera, sensor infra merah dan zoom. Pesawat seharga
Rp190 miliar ini juga patroli di langit-langi Arizona, Florida, Texas
dan North Dakota.
Tapi bukannya tanpa masalah. Sistem dinding virtual tersebut kadang salah membedakan antara gerakan manusia dan pohon yang tertiup angin. Sensor yang bermasalah juga terkadang terlalu lambat dalam mengirimkan informasi. Selain itu, sistem yang menghabiskan biaya Rp9,5 triliun tersebut dinilai terlalu mahal karena hanya mencakup wilayah seluas 85km.
Kendati demikian, pemerintah AS tetap akan menggunakannya, malah akan menambah investasi di bidang ini sebesar Rp1,5 triliun untuk membangun menara tambahan.
Tapi bukannya tanpa masalah. Sistem dinding virtual tersebut kadang salah membedakan antara gerakan manusia dan pohon yang tertiup angin. Sensor yang bermasalah juga terkadang terlalu lambat dalam mengirimkan informasi. Selain itu, sistem yang menghabiskan biaya Rp9,5 triliun tersebut dinilai terlalu mahal karena hanya mencakup wilayah seluas 85km.
Kendati demikian, pemerintah AS tetap akan menggunakannya, malah akan menambah investasi di bidang ini sebesar Rp1,5 triliun untuk membangun menara tambahan.
"Idenya adalah
mengkombinasikan antara infrastruktur fisik seperti tembok dan pagar,
dengan teknologi sensor. Jadi kita bisa tahu, apakah penerobos
bersenjata atau tidak," kata Mark Borkowski, dari Seksi Perlindungan di
Departemen Imigrasi AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar