Ballon d'Or edisi 2011 lalu melahirkan kembali pesepakbola terjago yang
identik seperti dua tahun sebelumnya, dia adalah Lionel Messi. Yah, di
malam penganugerahaan yang digelar di Zurich tahun lalu itu, mega
bintang Barcelona ini akhirnya berhasil mengklaim titel pribadi paling
prestisius ini untuk kali ketiga secara beruntun. Sukses ini
menyejajarkan Messi dengan legenda sepakbola termasyhur seperti Johan
Cruyff, Marco van Basten, yang mencatatakan tiga Ballon d'Or, dan Michel
Platini -- legenda Prancis yang juga mampu merengkuh Ballon d'Or hat-trick secara berturut-turut.
Walau demikian, tak sedikit yang memperdebatkan kelayakan Messi merebut gelar itu untuk tahun ini. Bahkan bomber asal Argentina itu disebut tidak pantas bila hanya merujuk pada 59 golnya, 35 asis dan lima trofi yang dia hadirkan sepanjang 2011 bagi Los Blaugrana. Semua mata analis sepakbola dunia justru kini mengindahkan sosok Xavi, gelandang elegan yang cuma bisa merengkuh gelar perunggu selama tiga tahun berturut-turut di bawah bayangan Messi. Tak sedikit pula yang menyebut kans Xavi untuk memenangkan Ballon d'Or sudah tertutup [merujuk pada umur sang gelandang].
Miris memang bagi Xavi. Anda mungkin tidak lupa bukan betapa catatan kontribusi yang dia berikan baik bagi Barcelona maupun timnas Spanyol tidak main-main. Gelar Piala Dunia 2010 yang ia hadirkan kemarin mungkin bisa menjelaskan pada Anda betapa Xavi amat sangat pantas disebut "best centre midfielder of all time". Liga Champions? Gelar itu mungkin tidak akan didapatkan bagi Barca tanpa campur tangan Xavi. "Tukang servis" Messi di Barca ini memang masih bisa kita sebut sebagai gelandang berkelas untuk dua-tiga tahun mendatang, tapi mungkin sulit untuk mengesahkan namanya dalam balutan titel Ballon d'Or. Sejatinya, tahun lalu peluang Xavi menasbihkan namanya dalam sejarah.
Xavi bukan satu-satunya legenda sepakbola kelas dunia yang terlupakan. Bila kita mengamati jauh sebelum era sepakbola modern, setelah Stanley Matthews di tahun 1956 yang menjadi orang pertama memenangkan Golden Ball, Masih ada banyak lainnya nama-nama kelas wahid dengan segudang torehan prestasinya yang terlupakan di mata dunia dan tak pernah memenangi Ballon d'Or. Siapa-siapa saja dia? GOAL.com akan menjabarkan di bawah ini.
Namun perlu ditegaskan, apa yang akan dibahas sekarang ini tidak hanya berbicara soal pemain terbaik dunia sepanjang masa, tapi mereka-mereka juga yang telah berhasil menaklukkan dunia -- baik performanya selama semusim maupun dalam beberapa periode tertentu -- dan mungkin sudah sepantasnya nama mereka masuk dalam daftar pemenang Ballon d'Or. Dan Perlu digarisbawahi juga, Ballon d'Or sebelum di tahun 1995 saat menelurkan nama George Weah, striker asal Liberia, hanya pemain-pemain dari Eropa yang bermain untuk klub Benua Biru lah yang masuk dalam kriteria perhitungan. Alhasil, nama-nama wahid dari Amerika Latin seperti Diego Maradona, Pele dan pemain-pemain non Eropa lainnya yang bersinar sama sekali tidak dianggap, kecuali bila mereka semua mencuat di pertengahan 1990, sampai dewasa ini pun Ballon d'Or kemudian di-merger dengan penghargaan Pemain Terbaik Dunia FIFA menjadi FIFA Ballon d'Or sejak 2010 lalu.
Walau demikian, tak sedikit yang memperdebatkan kelayakan Messi merebut gelar itu untuk tahun ini. Bahkan bomber asal Argentina itu disebut tidak pantas bila hanya merujuk pada 59 golnya, 35 asis dan lima trofi yang dia hadirkan sepanjang 2011 bagi Los Blaugrana. Semua mata analis sepakbola dunia justru kini mengindahkan sosok Xavi, gelandang elegan yang cuma bisa merengkuh gelar perunggu selama tiga tahun berturut-turut di bawah bayangan Messi. Tak sedikit pula yang menyebut kans Xavi untuk memenangkan Ballon d'Or sudah tertutup [merujuk pada umur sang gelandang].
Miris memang bagi Xavi. Anda mungkin tidak lupa bukan betapa catatan kontribusi yang dia berikan baik bagi Barcelona maupun timnas Spanyol tidak main-main. Gelar Piala Dunia 2010 yang ia hadirkan kemarin mungkin bisa menjelaskan pada Anda betapa Xavi amat sangat pantas disebut "best centre midfielder of all time". Liga Champions? Gelar itu mungkin tidak akan didapatkan bagi Barca tanpa campur tangan Xavi. "Tukang servis" Messi di Barca ini memang masih bisa kita sebut sebagai gelandang berkelas untuk dua-tiga tahun mendatang, tapi mungkin sulit untuk mengesahkan namanya dalam balutan titel Ballon d'Or. Sejatinya, tahun lalu peluang Xavi menasbihkan namanya dalam sejarah.
Xavi bukan satu-satunya legenda sepakbola kelas dunia yang terlupakan. Bila kita mengamati jauh sebelum era sepakbola modern, setelah Stanley Matthews di tahun 1956 yang menjadi orang pertama memenangkan Golden Ball, Masih ada banyak lainnya nama-nama kelas wahid dengan segudang torehan prestasinya yang terlupakan di mata dunia dan tak pernah memenangi Ballon d'Or. Siapa-siapa saja dia? GOAL.com akan menjabarkan di bawah ini.
Namun perlu ditegaskan, apa yang akan dibahas sekarang ini tidak hanya berbicara soal pemain terbaik dunia sepanjang masa, tapi mereka-mereka juga yang telah berhasil menaklukkan dunia -- baik performanya selama semusim maupun dalam beberapa periode tertentu -- dan mungkin sudah sepantasnya nama mereka masuk dalam daftar pemenang Ballon d'Or. Dan Perlu digarisbawahi juga, Ballon d'Or sebelum di tahun 1995 saat menelurkan nama George Weah, striker asal Liberia, hanya pemain-pemain dari Eropa yang bermain untuk klub Benua Biru lah yang masuk dalam kriteria perhitungan. Alhasil, nama-nama wahid dari Amerika Latin seperti Diego Maradona, Pele dan pemain-pemain non Eropa lainnya yang bersinar sama sekali tidak dianggap, kecuali bila mereka semua mencuat di pertengahan 1990, sampai dewasa ini pun Ballon d'Or kemudian di-merger dengan penghargaan Pemain Terbaik Dunia FIFA menjadi FIFA Ballon d'Or sejak 2010 lalu.
Legenda Uni Soviet Lev Yashin menjadi
satu-satunya kiper yang sukses mencaplok gelar Ballon d'Or di tahun
1963, akan tetapi bila berbicara apa tidak ada lagi kiper terbaik di era
lampau? Jawabannya ada! Tapi tidak seberuntung Yashin.
Memasuki tahun 1970, nama Sepp Maier muncul ke permukaan berkat performa gemilangnya. Ia bahkan bisa disebut salah satu kiper nomor satu terbaik di dunia pada paruh pertama di dekade tersebut. Ia menjadi bagian dari sukses Bayern Munich memenangkan tiga titel beruntun di kompetisi Eropa, mengantar Jerman berjaya di Euro 72, dan dua tahun selanjutnya ia kembali mengantarkan tim Panser menggondol trofi yang lebih bergengsi, Piala Dunia. Sayang beribu sayang, kebintangan Maier tertutupi oleh dua superstar Jerman ketika itu, Franz Beckenbauer dan Gerd Muller yang keduanya tidak pernah absen dari tiga terbaik dunia selama delapan tahun.
Kemudian aksi Dino Zoff di tahun 1973 yang mampu menjaga gawangnya dengan mencatat rekor tidak kebobolan selama 21 bulan hanya diapresiasi dengan gelar perak. Ia kalah dari Johan Cruyff, yang dianggap paling pantas memenangkan Ballon d'Or usai memimpin Ajax meraih gelar ketiganya di ajang Eropa. Raksasa Belanda itu mengalahkan Juventus-nya Zoff 1-0 di final. Karier Zoff sejatinya kembali mengangkasa saat dia berhasil mengangkat gelar Piala Dunia 1982 di usia 40. Di tahun itu pula ia memberikan enam gelar Scudetto bagi Juventus. Namun apa boleh bikin, aksi menawah Paolo Rossi, rekan setim Zoff, yang mencetak enam gol di Spanyol berhasil "menjatuhkan" pamor sang kiper untuk kemudian meraih gelar Ballon d'Or. Perlu diperdebatkan lagi memang, apakah sebetulnya Rossi pantas mengklaim Ballon d'Or ketika itu sebab sebelum pentas Piala Dunia digelar ia lebih banyak mendekam di luar lapangan akibat terkena sanksi larangan bertanding dalam jangka panjang.
Ballon d'Or di tahun 1992 mungkin pantas disematkan pada sosok Peter Schmeichel yang secara epik dan mencengangkan dunia sukses mengantar timnas Denmark menganjung trofi Euro '92. Tapi lagi-lagi prestasi bukan jaminan mutlak. Justru Marco van Basten lah yang dianugerahi Ballon d'Or di tahun itu. Ironisnya, pada semi-final Euro di tahun tersebut, Schmeichel berhasil mengagalkan penalti van Basten di semi-final sebelum Denmark melaju ke partai puncak. AC Milan yang dibela van Basten juga terdepak dari ajang Eropa di edisi 91/92, meski pada akhirnya mungkin catatan 29 gol di kancah domestik dan mengantar Milan ke tahta Scudetto yang menjadi bahan pertimbangan van Basten meraih Ballon d'Or. Tapi jika Anda melihat perjuangan dramatis Manchester United-nya Schmeichel di Liga Champions edisi 1999, apakah Anda mau membantah betapa gigihnya combeback mustahil Setan Merah saat mengalahkan Bayern Munich di final? Yang mana kemenangan di ajang Liga Champions itu pun mengukuhkan status United sebagai treble-winners di tahun itu.
Memasuki tahun 1970, nama Sepp Maier muncul ke permukaan berkat performa gemilangnya. Ia bahkan bisa disebut salah satu kiper nomor satu terbaik di dunia pada paruh pertama di dekade tersebut. Ia menjadi bagian dari sukses Bayern Munich memenangkan tiga titel beruntun di kompetisi Eropa, mengantar Jerman berjaya di Euro 72, dan dua tahun selanjutnya ia kembali mengantarkan tim Panser menggondol trofi yang lebih bergengsi, Piala Dunia. Sayang beribu sayang, kebintangan Maier tertutupi oleh dua superstar Jerman ketika itu, Franz Beckenbauer dan Gerd Muller yang keduanya tidak pernah absen dari tiga terbaik dunia selama delapan tahun.
Kemudian aksi Dino Zoff di tahun 1973 yang mampu menjaga gawangnya dengan mencatat rekor tidak kebobolan selama 21 bulan hanya diapresiasi dengan gelar perak. Ia kalah dari Johan Cruyff, yang dianggap paling pantas memenangkan Ballon d'Or usai memimpin Ajax meraih gelar ketiganya di ajang Eropa. Raksasa Belanda itu mengalahkan Juventus-nya Zoff 1-0 di final. Karier Zoff sejatinya kembali mengangkasa saat dia berhasil mengangkat gelar Piala Dunia 1982 di usia 40. Di tahun itu pula ia memberikan enam gelar Scudetto bagi Juventus. Namun apa boleh bikin, aksi menawah Paolo Rossi, rekan setim Zoff, yang mencetak enam gol di Spanyol berhasil "menjatuhkan" pamor sang kiper untuk kemudian meraih gelar Ballon d'Or. Perlu diperdebatkan lagi memang, apakah sebetulnya Rossi pantas mengklaim Ballon d'Or ketika itu sebab sebelum pentas Piala Dunia digelar ia lebih banyak mendekam di luar lapangan akibat terkena sanksi larangan bertanding dalam jangka panjang.
Ballon d'Or di tahun 1992 mungkin pantas disematkan pada sosok Peter Schmeichel yang secara epik dan mencengangkan dunia sukses mengantar timnas Denmark menganjung trofi Euro '92. Tapi lagi-lagi prestasi bukan jaminan mutlak. Justru Marco van Basten lah yang dianugerahi Ballon d'Or di tahun itu. Ironisnya, pada semi-final Euro di tahun tersebut, Schmeichel berhasil mengagalkan penalti van Basten di semi-final sebelum Denmark melaju ke partai puncak. AC Milan yang dibela van Basten juga terdepak dari ajang Eropa di edisi 91/92, meski pada akhirnya mungkin catatan 29 gol di kancah domestik dan mengantar Milan ke tahta Scudetto yang menjadi bahan pertimbangan van Basten meraih Ballon d'Or. Tapi jika Anda melihat perjuangan dramatis Manchester United-nya Schmeichel di Liga Champions edisi 1999, apakah Anda mau membantah betapa gigihnya combeback mustahil Setan Merah saat mengalahkan Bayern Munich di final? Yang mana kemenangan di ajang Liga Champions itu pun mengukuhkan status United sebagai treble-winners di tahun itu.
Oliver Kahn turut pula menjadi salah satu legenda terlupakan di tahun 2001-2002. Aksi briliannya di final Liga Champions dengan mengalahkan Valencia dalam drama adu penalti benar-benar tidak dianggap. Tiga algojo berhasil ia bendung untuk memberdirikan timnya di podium juara di musim itu. Tapi apa lacur, Michael Owen dinilai paling pantas duduk di tahta Ballon d'Or atas kepahlawanannya mempersembahkan Piala FA, Piala Liga dan Piala UEFA bagi Liverpool. Apakah catatan itu lebih agung dibanding milik Kahn?
Di era modern ini, kembali dua nama sohor "terasingkan". Adalah Gianluigi Buffon dan Iker Casillas, dua kiper yang memenangkan Piala Dunia 2006 dan 2010 dengan hanya kebobolan dua gol sepanjang turnamen. Keduanya berjibaku mengamankan gawangnya selama final Piala Dunia, Buffon membuat penyelamatan krusial dengan membendung aksi berbahaya Zinedine Zidane dan Casillas yang menghentikan pergerakan Arjen Robben dalam posisi satu lawan satu. Khusus Casillas, jangan lupakan pula karena dua tahun sebelum Piala Dunia itu ia sudah mempersembahkan gelar Euro 2008 bagi tim Matador. Sementara Buffon pada akhirnya kalah kelas dari Fabio Cannavaro yang menempatkan diri di posisi pertama Ballon d'Or dan sang kiper harus rela jadi runner-up. Casillas? Sepertinya menjadi sebuah ironi tersendiri melihat Spanyol yang dalam beberapa tahun terakhir mendominasi dunia tapi tak satupun pemainnya bisa beridiri di podium Ballon d'Or. Yah, mencengangkan!
Jika di sektor kiper cuma ada satu nama yang pernah memenangkan
Ballon d'Or, di jajaran bek dunia juga hanya ada sedikit. Mereka adalah
Franz Beckenbauer, Matthias Sammer dan Fabio Cannavaro. Sekali lagi
Ballon d'Or seperti menunjukkan favoritisme pada pemain-pemain yang
bernaluri menyerang.
Favoritisme itulah yang kemudian menghalangi para legenda-legenda defender wahid untuk menjadi yang terbaik dunia. Terlepas dari tiga nama bek di atas yang sukses menasbihkan diri sebagai yang tersohor seantero dunia, pernahkan kita menyadari momen spartan yang diukir bek-bek seperti Bobby Moore, Franco Baresi dan Paolo Maldini? Dimulai dari Moore. Di tahun 1966, Moore mengapteni Inggris dan membawa tim Tiga Singa mendominasi dunia, tapi lihat, ia hanya menjadi runner-up Ballon d'Or setelah empat tahun berselang. Adalah Bobby Charlton yang dianggap paling berjasa atas sukses besar Inggris, terlebih dobel golnya di semi-final dengan mengalahkan Portugal.
1987-1992 menjadi masa supremasinya duo Belanda yang membela AC Milan Ruud Gullit dan van Basten. Mereka berdua mampu memproduksi empat Ballon d'Or berkat aksi-askinya selama periode tersebut. Hal yang membuat nama Baresi tenggelam dan seolah benar-benar mempertegas kalau tidak ada bek yang bisa menandai diri mereka dengan label terbaik dunia. Padahal di masa itu, campur andil Baresi bagi Milan sulit ditampik. Dunia mengakui kalau pertahanan Milan di era Baresi merupakan barisan palang pintu terkokoh sepanjang masa. Baresi menjadi sosok kapten, pemimpin, namun tetap yang terlupakan dan jauh dari keberhasilan menggaet gelar Ballon d'Or.
Masih ada nama dari Milan lainnya. Apakah Anda loyalis Rossoneri mau melupakan begitu saja jasa-jasa luar biasa sang ikon, Paolo Maldini? Hampir seperempat abad kariernya dihabiskan hanya berbakti pada Milan. Disebut-sebut sebagai bek kiri terbaik sepanjang masa, pemenang tujuh Scudetto dan lima ajang Eropa di antara gelar-gelar lain yang dihadirkan Maldini. Tapi Ballon d'Or? Maldini tidak punya. Perjalanan emas Maldini dimulai dari final Liga Champions 1994 saat Rossoneri sukses menjungkalkan Barcelona dream-team ala Cruyff 4-0. Di tahun itu juga, Maldini menjadi bagian tak terpisahkan dari Scudetto Milan dan melenggangnya Italia di final Piala Dunia menghadapi Brasil. Bukankah luar biasa?
TIGA BEK IKON YANG TAK PERNAH MENANGI BALLON D'OR
Namun selain tiga ikon itu, masih banyak bek-bek lainnya yang layak mendapatkan tempat untuk merebut Golden Ball. Giaconto Facchetti [pilar Inter yang memenangkan Liga Champions pada 1965], Paul Bretner [mencetak gol di dua final Piala Dunia], Andreas Brehme [mungkin bisa disebut salah satu bek kidal terbaik Jerman yang mencetak gol di babak 16 besar, semi-final dan tendangan penalti di final Piala Dunia 1990, dan dinilai sebagai libero terbaik dalam sejarah setelah era Franz Beckenbauer], lalu ada Roberto Carlos [yang berperan penting dalam kejayaan Madrid di Liga Champions dan Piala Dunia pada 2002, namun yang memenangkan Ballon d'Or adalah Ronaldo, padahal ia banyak berkutat dengan cedera], kemudian Lilian Thuram [sukses di Piala Dunia 1998 dan Euro 2000], nama-nama semacam Berti Vogts dan Uli Stielike [Jerman], Ruud Krol [Belanda] dan bek Italia lainnya seperti Alessandro Nesta tinggallah sebuah sosok yang tak terindahkah.
Pemain yang bermain di posisi ini memang belum banyak mendapat pengakuan sebagai yang terbaik seantero dunia, namun tetap saja ada beberapa legenda yang sepatutnya tidak kehilangan gelar Ballon d'Or. Jika di edisi kali ini Xavi yang mengalami nasib malang, jauh 40 tahun silam sudah mencuat pula perdebatan tentang siapa sebetulnya sosok gelandang terbaik dunia. Playmaker Gunter Netzer mungkin punya kisah serupa layaknya gelandang Barcelona itu. Bintang Borussia Mochengladbach ini mungkin menjadi pemain yang paling bersinar di laga kontra Inggris di Wembley pada perempat-final Euro 1972. Tak sampai di situ, berkat tenaganya jugalah yang menginspirasi Jerman memenangkan Euro edisi kali itu. Namun Di tahun tersebut, Netzer hanya menjadi pemanis dua rekannya yang mengklaim tempat pertama dan kedua dalam Bellon d'Or tahun 72, Franz Beckenbauer dan Gerd Muller.
Netzer juga bukan satu-satunya gelandang serang Jerman berkelas yang gagal ternobatkan sebagai juara Ballon d'Or. Di era 70-an, ada juga nama seperti Wolfgang Overath, yang bahu membahu bersama Netzer di Piala Dunia 1970 dan 1974. Untuk Piala Dunia terakhir keduanya sukses menghadiahkan publik Jerman trofi lambang supremasi sepakbola dunia itu. Dan Wolfgang pun menjadi salah satu pemain terbaik di pesta sepakbola empat tahunan tersebut.
Berbeda dengan Xavi ataupun Andres Iniesta yang menajdi pahlawan penentu kemenangan Spanyol atas Belanda di final Piala Dunia 2010 namun belum pernah mencicipi Ballon d'Or. Kilas balik ke era 50-60-an, La Furio Roja punya senjata rahasia mematikan. Dia adalah Luis Suarez, pemenang Ballon d'Or 1960. Akan tetapi sepertinya gelar Ballon d'Or untuk Suarez itu terasa tidak adil bila tidak memperhitungkan kontribusi brilian pemain seperti Francesco Geto -- salah satu winger terbaik di masanya -- yang menjadi kunci kedigdayaan Madrid dalam memenangkan lima Liga Champions pertama klub bersama Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas. Tapi sekali lagi, selalu ada kolega yang lebih memiliki high-profile untuk menutupi kegemilangannya.
Masih berbicara seputar Madrid, banyak kalangan percaya Bernd Schuster seharusnya pantas memenangkan Ballon d'Or 1980. Ia dinilai lebih berjasa ketimbang Karl-Heinz Rummenigge yang di tahun itu memang menghadiahi Jerman Barat gelar Euro di Italia. Akan tetapi, di usia 20 tahun, Schuster diklaim sebagai Player of the Tournament bersama pemain Belgia Wilfried van Moer. Walau begitu, catatan Rummenigge di tahun tersebut dengan memenangkan gelar Bundesliga, mencapai semi-final Piala UEFA dan torehan 31 gol bagi klub di musim 1979-80 sudah cukup bagi dirinya untuk mengunci Ballon d'Or.
Milan di zaman Arrigo Sacchi pada era 80-an juga punya banyak cerita epik terkait sosok Frank Rijkaard, pemegang dua kali perunggu Ballon d'Or yang kerap dinilai pantas memiliki lebih dari itu. Akan tetapi, prestasi besar Rijkaard dianggap tak sebanding dengan torehan partner Belanda-nya, Ruud Gullit dan Marco van Basten, yang mengklaim tiga gelar Ballon d'Or di dekade tersebut. Rijkaard hanya menjadi bayang-bayang kedua koleganya itu kendati ia menjadi bagian vital dalam kemenangan di final Liga Champions pada 1990 dan di final Piala Interkontinental tahun itu. Belum lagi nama-nama seperti Dragan Dzajic, Jimmy Johnstone, Sandro Mazzola, Johan Neeskens, Jean Tigana, dan Alain Giresse. Mereka semua tida bisa dispelekan untuk disebut sebagai penantang serius Ballon d'Or.
Lebih dari 30 perengkuh Ballon d'Or sejak 1956 didominasi dari barisan penyerang, namun ada beberapa bomber legenda yang tampaknya perlu diperhatikan. Ferenc Puskas misalnya. Kendati ia memenangkan kejuaran Eropa di usia kompetisi yang baru terlahir, nyatanya Puskas hanya menjadi bayang-bayang di belakang Luis Suarez untuk sekedar menjadi nomor dua pada 1960. Di tahun-tahun awal diresmikannya Ballon d'Or, Hongaria berjaya dengan membekuk Inggris 6-3 di Wembley. Rasanya gelar terbaik dunia pantas disematkan pada Puskas di masa itu. John Charles juga dielu-elukan sebagai pesepakbola Inggris terhebat sepanjang masa, mendapatkan suara terbanyak sebagai pemain asing terbaik di Serie A bergabung dengan Maradona dan Platini, torehan golnya juga bagi Juventus benar-benar ciamik [105 gol dalam lima musim] serta tiga Scudetto. Masih kurang pantaskah Ballon d'Or lantas berada dalam genggaman Charles? Hanya karena kegagalan Bianconerri di kancah Eropa menjadi kunci kekalahan dirinya merebut Ballon d'Or dan pada akhirnya harus puas hanya menempati tiga besar pada 1959.
Namun Charles tidak sendiri menjadi pemain yang terpinggirkan dari status terbaik dunia. Ada nama mentereng seperti Thierry Henry, Legenda Arsenal yang sekarang ini kembali memperkuat klub yang telah melambungkan namanya tersebut untuk jangka pendek, yang menemani Charles. Agaknya torehan 226 gol dan dua persembahan Liga Primer Inggris belum cukup untuk mengukuhkan pemain milik New York Red Bulls ini memenangkan Ballon d'Or. Apa memang kontribusi Henry masih terbilang kurang untuk the Gunners? Coba tengok di musim 2004. Arsenal mengalami fase yang amat sulit ditandingi tim-tim lain. Betapa tidak, Arsenal-nya Henry menyapu bersih semua pertandingan Liga dengan tak terkalahkan dan sang penyerang membukukan 39 gol di semua kompetisi. Alasannya mungkin merujuk pada kegagalan Henry membawa Prancis berjaya di Euro 2004, sementara Andriy Shevchenko menggebrak setahun setelahnya untuk mengklaim Ballon d'Or. Henry? sepertinya memang tidak "dijodohkan" memenangkan gelar pribadi paling bergengsi tersebut.
Selain Charles, Juve juga punya nama lain yang tak masuk perhitungan namun kontribusinya fantastis selama satu dekade. Dia adalah Michael Laudrup. Pemain Denmark itu menggebrak dunia di usia belianya pada 1982-83. Yah, Laudrup mencuri hati dunia ketika melakukan impak besar di Juve, Barcelona, Real Madrid dan tentu saja bersama Denmark di Euro '84 dan Piala Dunia '86. Partnernya di lini depan bersama si 'Danish Dynamite', Preben Elkjaer, menjadi momok yang ditakuti di Eropa di pertengahan 1980. Membawa Scandinavians ke semi-final Euro, dan menghadiahi Verona satu capaian historis, Scudetto, setahun berselang. Tapi bagaimanapun, nama Platini tak bisa dipatahkan oleh Elkjaer yang di 80-an sukses mengukir hat-trick.
TIGA LEGENDA YANG TAK PERNAH RAIH BALLON D'OR
Momen paling dramatis bagi Platini terjadi di final Piala Eropa 1985, di mana ditandai dengan penegasan hat-trick Ballon d'Or. Rivalnya pada saat itu adalah Kenny Dalglish, legenda terpinggirkan lainnya yang dianggap pantas menjadi yang tersohor di jagat sepakbola dunia setelah dominasi timnya, Liverpool, sanggup menguasai Eropa selama delapan tahun dan mendulang tiga titel di ajang terbaik Benua Biru. Pria yang kini membesut the Reds itu mencetak gol tunggal penentu juara Liverpool di final Liga Champions 1978, dan itu merupakan musim terbaiknya bersama klub terlebih karena catatan 31 gol-nya. Ditambah tidak adanya pemain yang menonjol selama bergulirnya Piala Dunia 1978, Dalsglish semestinya pantas dinobatkan menjadi nomor satu dunia. Tapi kenyataan berbicara lain. Tidak ada nama Dalglish dalam daftar nominasi tiga besar Ballon d'Or.
Beralih ke bintang sepakbola modern yang semestinya patut merasakan Ballon d'Or adalah legenda hidup Real Madrid, Raul. Meski ia tak bisa memberikan angin segar bagi timnas Spanyol, rekor 323 gol, enam gelar La Liga, dan tiga di ajang Eropa, dan sejumlah momen-momen magic bagi Madrid sepertinya tak salah menempatkan Raul di jajaran pesohor Ballon d'Or. Sayang, hal itu tak pernah terjadi sama sekali. Selanjutnya Pada 2001, kita semua tak lupa bagaimana Raul berhasil membawa Madrid memenangkan La Liga dengan catatan rekor gol menakjubkan yang belum pernah ia capai sebelumnya. Tak salah rasanya bila Raul pantas berada di atas Michael Owen untuk mengkudeta Ballon d'Or pada tahun tersebut.
Bagaimana dengan sepak terjang Wesley Sneijder sepanjang 2010? Treble gelar bersama Inter, final Piala Dunia 2010 bersama Belanda, belum cukup pantaskah sang playmaker mendapatkan Golden Ball? Samuel Eto'o yang mencatatkan diri sebagai pemain yang merasakan dua kali final Liga Champions beruntun dan andil besarnya dalam treble winners Inter?
Pantas saja bila Messi setelah disahkan menjadi pemain terbaik dunia untuk ketiga kali berutut-turut kemudian mendedikasikan dan "membagi" gelar pribadinya itu untuk Xavi.
Favoritisme itulah yang kemudian menghalangi para legenda-legenda defender wahid untuk menjadi yang terbaik dunia. Terlepas dari tiga nama bek di atas yang sukses menasbihkan diri sebagai yang tersohor seantero dunia, pernahkan kita menyadari momen spartan yang diukir bek-bek seperti Bobby Moore, Franco Baresi dan Paolo Maldini? Dimulai dari Moore. Di tahun 1966, Moore mengapteni Inggris dan membawa tim Tiga Singa mendominasi dunia, tapi lihat, ia hanya menjadi runner-up Ballon d'Or setelah empat tahun berselang. Adalah Bobby Charlton yang dianggap paling berjasa atas sukses besar Inggris, terlebih dobel golnya di semi-final dengan mengalahkan Portugal.
1987-1992 menjadi masa supremasinya duo Belanda yang membela AC Milan Ruud Gullit dan van Basten. Mereka berdua mampu memproduksi empat Ballon d'Or berkat aksi-askinya selama periode tersebut. Hal yang membuat nama Baresi tenggelam dan seolah benar-benar mempertegas kalau tidak ada bek yang bisa menandai diri mereka dengan label terbaik dunia. Padahal di masa itu, campur andil Baresi bagi Milan sulit ditampik. Dunia mengakui kalau pertahanan Milan di era Baresi merupakan barisan palang pintu terkokoh sepanjang masa. Baresi menjadi sosok kapten, pemimpin, namun tetap yang terlupakan dan jauh dari keberhasilan menggaet gelar Ballon d'Or.
Masih ada nama dari Milan lainnya. Apakah Anda loyalis Rossoneri mau melupakan begitu saja jasa-jasa luar biasa sang ikon, Paolo Maldini? Hampir seperempat abad kariernya dihabiskan hanya berbakti pada Milan. Disebut-sebut sebagai bek kiri terbaik sepanjang masa, pemenang tujuh Scudetto dan lima ajang Eropa di antara gelar-gelar lain yang dihadirkan Maldini. Tapi Ballon d'Or? Maldini tidak punya. Perjalanan emas Maldini dimulai dari final Liga Champions 1994 saat Rossoneri sukses menjungkalkan Barcelona dream-team ala Cruyff 4-0. Di tahun itu juga, Maldini menjadi bagian tak terpisahkan dari Scudetto Milan dan melenggangnya Italia di final Piala Dunia menghadapi Brasil. Bukankah luar biasa?
TIGA BEK IKON YANG TAK PERNAH MENANGI BALLON D'OR
Namun selain tiga ikon itu, masih banyak bek-bek lainnya yang layak mendapatkan tempat untuk merebut Golden Ball. Giaconto Facchetti [pilar Inter yang memenangkan Liga Champions pada 1965], Paul Bretner [mencetak gol di dua final Piala Dunia], Andreas Brehme [mungkin bisa disebut salah satu bek kidal terbaik Jerman yang mencetak gol di babak 16 besar, semi-final dan tendangan penalti di final Piala Dunia 1990, dan dinilai sebagai libero terbaik dalam sejarah setelah era Franz Beckenbauer], lalu ada Roberto Carlos [yang berperan penting dalam kejayaan Madrid di Liga Champions dan Piala Dunia pada 2002, namun yang memenangkan Ballon d'Or adalah Ronaldo, padahal ia banyak berkutat dengan cedera], kemudian Lilian Thuram [sukses di Piala Dunia 1998 dan Euro 2000], nama-nama semacam Berti Vogts dan Uli Stielike [Jerman], Ruud Krol [Belanda] dan bek Italia lainnya seperti Alessandro Nesta tinggallah sebuah sosok yang tak terindahkah.
Pemain yang bermain di posisi ini memang belum banyak mendapat pengakuan sebagai yang terbaik seantero dunia, namun tetap saja ada beberapa legenda yang sepatutnya tidak kehilangan gelar Ballon d'Or. Jika di edisi kali ini Xavi yang mengalami nasib malang, jauh 40 tahun silam sudah mencuat pula perdebatan tentang siapa sebetulnya sosok gelandang terbaik dunia. Playmaker Gunter Netzer mungkin punya kisah serupa layaknya gelandang Barcelona itu. Bintang Borussia Mochengladbach ini mungkin menjadi pemain yang paling bersinar di laga kontra Inggris di Wembley pada perempat-final Euro 1972. Tak sampai di situ, berkat tenaganya jugalah yang menginspirasi Jerman memenangkan Euro edisi kali itu. Namun Di tahun tersebut, Netzer hanya menjadi pemanis dua rekannya yang mengklaim tempat pertama dan kedua dalam Bellon d'Or tahun 72, Franz Beckenbauer dan Gerd Muller.
Netzer juga bukan satu-satunya gelandang serang Jerman berkelas yang gagal ternobatkan sebagai juara Ballon d'Or. Di era 70-an, ada juga nama seperti Wolfgang Overath, yang bahu membahu bersama Netzer di Piala Dunia 1970 dan 1974. Untuk Piala Dunia terakhir keduanya sukses menghadiahkan publik Jerman trofi lambang supremasi sepakbola dunia itu. Dan Wolfgang pun menjadi salah satu pemain terbaik di pesta sepakbola empat tahunan tersebut.
Berbeda dengan Xavi ataupun Andres Iniesta yang menajdi pahlawan penentu kemenangan Spanyol atas Belanda di final Piala Dunia 2010 namun belum pernah mencicipi Ballon d'Or. Kilas balik ke era 50-60-an, La Furio Roja punya senjata rahasia mematikan. Dia adalah Luis Suarez, pemenang Ballon d'Or 1960. Akan tetapi sepertinya gelar Ballon d'Or untuk Suarez itu terasa tidak adil bila tidak memperhitungkan kontribusi brilian pemain seperti Francesco Geto -- salah satu winger terbaik di masanya -- yang menjadi kunci kedigdayaan Madrid dalam memenangkan lima Liga Champions pertama klub bersama Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas. Tapi sekali lagi, selalu ada kolega yang lebih memiliki high-profile untuk menutupi kegemilangannya.
Masih berbicara seputar Madrid, banyak kalangan percaya Bernd Schuster seharusnya pantas memenangkan Ballon d'Or 1980. Ia dinilai lebih berjasa ketimbang Karl-Heinz Rummenigge yang di tahun itu memang menghadiahi Jerman Barat gelar Euro di Italia. Akan tetapi, di usia 20 tahun, Schuster diklaim sebagai Player of the Tournament bersama pemain Belgia Wilfried van Moer. Walau begitu, catatan Rummenigge di tahun tersebut dengan memenangkan gelar Bundesliga, mencapai semi-final Piala UEFA dan torehan 31 gol bagi klub di musim 1979-80 sudah cukup bagi dirinya untuk mengunci Ballon d'Or.
Milan di zaman Arrigo Sacchi pada era 80-an juga punya banyak cerita epik terkait sosok Frank Rijkaard, pemegang dua kali perunggu Ballon d'Or yang kerap dinilai pantas memiliki lebih dari itu. Akan tetapi, prestasi besar Rijkaard dianggap tak sebanding dengan torehan partner Belanda-nya, Ruud Gullit dan Marco van Basten, yang mengklaim tiga gelar Ballon d'Or di dekade tersebut. Rijkaard hanya menjadi bayang-bayang kedua koleganya itu kendati ia menjadi bagian vital dalam kemenangan di final Liga Champions pada 1990 dan di final Piala Interkontinental tahun itu. Belum lagi nama-nama seperti Dragan Dzajic, Jimmy Johnstone, Sandro Mazzola, Johan Neeskens, Jean Tigana, dan Alain Giresse. Mereka semua tida bisa dispelekan untuk disebut sebagai penantang serius Ballon d'Or.
Lebih dari 30 perengkuh Ballon d'Or sejak 1956 didominasi dari barisan penyerang, namun ada beberapa bomber legenda yang tampaknya perlu diperhatikan. Ferenc Puskas misalnya. Kendati ia memenangkan kejuaran Eropa di usia kompetisi yang baru terlahir, nyatanya Puskas hanya menjadi bayang-bayang di belakang Luis Suarez untuk sekedar menjadi nomor dua pada 1960. Di tahun-tahun awal diresmikannya Ballon d'Or, Hongaria berjaya dengan membekuk Inggris 6-3 di Wembley. Rasanya gelar terbaik dunia pantas disematkan pada Puskas di masa itu. John Charles juga dielu-elukan sebagai pesepakbola Inggris terhebat sepanjang masa, mendapatkan suara terbanyak sebagai pemain asing terbaik di Serie A bergabung dengan Maradona dan Platini, torehan golnya juga bagi Juventus benar-benar ciamik [105 gol dalam lima musim] serta tiga Scudetto. Masih kurang pantaskah Ballon d'Or lantas berada dalam genggaman Charles? Hanya karena kegagalan Bianconerri di kancah Eropa menjadi kunci kekalahan dirinya merebut Ballon d'Or dan pada akhirnya harus puas hanya menempati tiga besar pada 1959.
Namun Charles tidak sendiri menjadi pemain yang terpinggirkan dari status terbaik dunia. Ada nama mentereng seperti Thierry Henry, Legenda Arsenal yang sekarang ini kembali memperkuat klub yang telah melambungkan namanya tersebut untuk jangka pendek, yang menemani Charles. Agaknya torehan 226 gol dan dua persembahan Liga Primer Inggris belum cukup untuk mengukuhkan pemain milik New York Red Bulls ini memenangkan Ballon d'Or. Apa memang kontribusi Henry masih terbilang kurang untuk the Gunners? Coba tengok di musim 2004. Arsenal mengalami fase yang amat sulit ditandingi tim-tim lain. Betapa tidak, Arsenal-nya Henry menyapu bersih semua pertandingan Liga dengan tak terkalahkan dan sang penyerang membukukan 39 gol di semua kompetisi. Alasannya mungkin merujuk pada kegagalan Henry membawa Prancis berjaya di Euro 2004, sementara Andriy Shevchenko menggebrak setahun setelahnya untuk mengklaim Ballon d'Or. Henry? sepertinya memang tidak "dijodohkan" memenangkan gelar pribadi paling bergengsi tersebut.
Selain Charles, Juve juga punya nama lain yang tak masuk perhitungan namun kontribusinya fantastis selama satu dekade. Dia adalah Michael Laudrup. Pemain Denmark itu menggebrak dunia di usia belianya pada 1982-83. Yah, Laudrup mencuri hati dunia ketika melakukan impak besar di Juve, Barcelona, Real Madrid dan tentu saja bersama Denmark di Euro '84 dan Piala Dunia '86. Partnernya di lini depan bersama si 'Danish Dynamite', Preben Elkjaer, menjadi momok yang ditakuti di Eropa di pertengahan 1980. Membawa Scandinavians ke semi-final Euro, dan menghadiahi Verona satu capaian historis, Scudetto, setahun berselang. Tapi bagaimanapun, nama Platini tak bisa dipatahkan oleh Elkjaer yang di 80-an sukses mengukir hat-trick.
TIGA LEGENDA YANG TAK PERNAH RAIH BALLON D'OR
Momen paling dramatis bagi Platini terjadi di final Piala Eropa 1985, di mana ditandai dengan penegasan hat-trick Ballon d'Or. Rivalnya pada saat itu adalah Kenny Dalglish, legenda terpinggirkan lainnya yang dianggap pantas menjadi yang tersohor di jagat sepakbola dunia setelah dominasi timnya, Liverpool, sanggup menguasai Eropa selama delapan tahun dan mendulang tiga titel di ajang terbaik Benua Biru. Pria yang kini membesut the Reds itu mencetak gol tunggal penentu juara Liverpool di final Liga Champions 1978, dan itu merupakan musim terbaiknya bersama klub terlebih karena catatan 31 gol-nya. Ditambah tidak adanya pemain yang menonjol selama bergulirnya Piala Dunia 1978, Dalsglish semestinya pantas dinobatkan menjadi nomor satu dunia. Tapi kenyataan berbicara lain. Tidak ada nama Dalglish dalam daftar nominasi tiga besar Ballon d'Or.
Beralih ke bintang sepakbola modern yang semestinya patut merasakan Ballon d'Or adalah legenda hidup Real Madrid, Raul. Meski ia tak bisa memberikan angin segar bagi timnas Spanyol, rekor 323 gol, enam gelar La Liga, dan tiga di ajang Eropa, dan sejumlah momen-momen magic bagi Madrid sepertinya tak salah menempatkan Raul di jajaran pesohor Ballon d'Or. Sayang, hal itu tak pernah terjadi sama sekali. Selanjutnya Pada 2001, kita semua tak lupa bagaimana Raul berhasil membawa Madrid memenangkan La Liga dengan catatan rekor gol menakjubkan yang belum pernah ia capai sebelumnya. Tak salah rasanya bila Raul pantas berada di atas Michael Owen untuk mengkudeta Ballon d'Or pada tahun tersebut.
Bagaimana dengan sepak terjang Wesley Sneijder sepanjang 2010? Treble gelar bersama Inter, final Piala Dunia 2010 bersama Belanda, belum cukup pantaskah sang playmaker mendapatkan Golden Ball? Samuel Eto'o yang mencatatkan diri sebagai pemain yang merasakan dua kali final Liga Champions beruntun dan andil besarnya dalam treble winners Inter?
Pantas saja bila Messi setelah disahkan menjadi pemain terbaik dunia untuk ketiga kali berutut-turut kemudian mendedikasikan dan "membagi" gelar pribadinya itu untuk Xavi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar