Wajar saja kinerja perekonomian Indonesia beberapa tahun ini
mendapat banyak pengakuan dari berbagai pihak. Di tengah krisis
keuangan di Eropa dan Amerika, perekonomian Indonesia tetap tumbuh
relatif tinggi dan stabil. Banyak negara lain, termasuk China dan
India, yang mengalami penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia beberapa tahun ini rata- rata di atas 6 persen.
Tahun depan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 6,8 persen. Tingkat
inflasi terjaga sekitar 5 persen. Nilai tukar rupiah relatif bergerak
di sekitar Rp 9.500 per dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan
rata-rata berada di kisaran 4.200 poin.
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia antara lain didorong investasi, terutama dari pihak asing.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan penanaman modal
asing (PMA) tahun ini akan melampaui 19 miliar dollar AS, nilai PMA
yang dicapai tahun lalu.
BKPM memiliki optimisme tinggi sebab
sampai September 2012 total PMA sudah mencapai 18,3 miliar dollar AS.
Total nilai investasi sampai akhir tahun ini diperkirakan Rp 300
triliun. Tahun 2013 BKPM menargetkan total investasi Rp 390 triliun.
Pertumbuhan
ekonomi mutlak diperlukan dalam upaya penyediaan lapangan kerja di
Indonesia. Pertanyaan yang muncul, apakah pertumbuhan ekonomi yang ada
cukup memadai untuk menyerap tenaga kerja?
Berkualitas
Jumlah
angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 118 juta orang.
Jumlah penduduk yang bekerja pada periode itu sekitar 110,8 juta
orang. Masih ada 7,2 juta orang yang menganggur atau sekitar 6,14
persen dari angkatan kerja. Sementara setiap tahun sekitar 2,5 juta
orang masuk ke bursa pencari kerja baru.
Dengan demikian,
pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi dan berkualitas amat diperlukan
untuk mengatasi tingkat pengangguran yang ada dan menampung angkatan
kerja baru. Persoalan yang ada, pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama
ini belum menciptakan lapangan kerja yang berkualitas.
Investasi
yang masuk belum menyentuh sektor riil yang merupakan sektor formal.
Alhasil, dari 118 juta tenaga kerja per Agustus 2012, sebanyak 44,2
juta orang (39,86 persen) bekerja di sektor formal, sementara 66,6
juta orang (60,14 persen) di sektor informal.
Dari data ini dapat
diartikan bahwa sebagian besar pekerja belum memiliki tingkat
kesejahteraan yang memadai. Sekalipun mengalami pertumbuhan ekonomi
tinggi, lebih banyak pekerja di negeri ini bekerja tanpa jaminan
kesehatan, hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan
jaminan untuk tetap bekerja dalam jangka panjang. Artinya, belum terjadi
pemerataan pendapatan.
Investasi terus meningkat, tetapi
konsep pembangunan yang ada belum menempatkan unsur manusia di tempat
pertama. Tidak heran, buruh terus berjuang keras menuntut kenaikan upah
minimum provinsi (UMP) pada 2013. Melonjak hampir 45 persen dari
tahun 2012, UMP tahun 2013 mencapai Rp 2,2 juta per bulan.
Tingkat
pemerataan yang kian timpang bisa terlihat dari rasio gini Indonesia
yang mencapai 0,41 pada 2011. Rasio ini naik dari 0,38 tahun 2010.
Kondisi ini akan makin memprihatinkan jika rasio gini melampaui 0,5
sebab itu berarti kondisi ketimpangan membahayakan karena konflik sosial
mudah merebak.
Upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi
yang relatif tinggi sudah sewajarnya disertai dengan upaya peningkatan
pemerataan. Pembangunan infrastruktur menjadi sebuah keniscayaan.
Masyarakat semakin diringankan dengan kehadiran jalan, jembatan,
bandara, pelabuhan, dan rumah sakit yang memadai.
Menjadi
persoalan karena dalam beberapa tahun terakhir pemerintah tidak punya
dana cukup untuk infrastruktur. Hanya disiapkan dana infrastruktur Rp
168,7 triliun dari APBN-P 2012 sebesar Rp 1.548,2 triliun atau hanya 2
persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh dari angka ideal 5
persen dari PDB.
Dana Rp 312 triliun dipakai untuk subsidi
energi atau 30 persen dari total belanja pusat. Sementara subsidi bahan
bakar minyak (BBM) mencapai Rp 222, 8 triliun. Ini untuk konsumsi BBM
sebanyak 45,7 juta kiloliter yang sebagian besar dinikmati pemilik
mobil dan sepeda motor. Mereka rata-rata menerima Rp 120.000 per hari.
Desakan
agar pemerintah mengalihkan sebagian dana subsidi BBM ini untuk
infrastruktur terus dikumandangkan, tetapi pemerintah bergeming.
Pemerintah beralasan takut terjadi kerusuhan dan gejolak sosial.
Padahal, dengan membangun infrastruktur, sebuah pemerataan dan struktur
sosial yang lebih kuat akan tercipta untuk jangka panjang. Pemerintah
juga bisa mengoptimalkan pasar modal yang lagi menarik.
Pujian
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tak lepas dari bonus demografi
yang ada. Ada kenaikan jumlah kelompok menengah dengan belanja 2-20
dollar AS per hari dari 81 juta orang pada 2003 jadi 134 juta orang
tahun 2011.
Sayangnya, angka kelas menengah yang terus tumbuh
ini lebih menarik sektor konsumsi. Yang menggelisahkan, peluang ini
diambil oleh banyak produk impor, termasuk impor BBM yang terus
meningkat.
Banyak pekerjaan untuk pemerataan pendapatan, termasuk
akses ke bank yang masih minim. Padahal, dengan akses perbankan yang
kian besar, hal itu akan makin menumbuhkan perekonomian dengan fondasi
yang kuat. Tegasnya, perlu kehadiran negara yang lebih nyata untuk
mengatasi semua ini.