Prestasi olahraga nasional secara umum masih belum membanggakan.
Sementara di sepak bola, olah raga yang paling digemari di negeri ini,
induk organisasinya, PSSI mengalami kisruh berlarut-larut. Kementerian
Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) seperti tidak berdaya mengatasi masalah
tersebut.
Sedangkan olahraga yang menyumbang puluhan gelar dunia dan membuat Indonesia terkenal, yaitu bulutangkis malah terkesan diabaikan.
Melihat kondisi seperti ini, apakah Kementerian Pemuda dan Olahraga masih dibutuhkan?
Menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan, Kementerian Pemuda dan Olahraga adalah penanggung jawab tertinggi sistem keolahragaan nasional. Tapi melihat fakta, perannya tidak dirasakan.
Yon Moeis, wartawan senior olahraga, sepakat jika Kemenpora dibubarkan. Ini juga pernah terjadi pada masa Kabinet Gotong Royong (2001-2004) saat dilebur ke dalam Departemen Pendidikan. Lagi pula ada atau tidaknya Kemenpora – saat berdiri sendiri maupun dilebur - tidak berdampak apa-apa bagi perkembangan olahraga nasional.
Karenanya pria yang sudah meliput berbagai ajang olahraga internasional tersebut menegaskan, pembubaran Kemenpora bisa saja dilakukan, namun tetap harus dipikirkan penggantinya sebagai wakil dari pemerintah.
“Jangan sampai ditangani Diknas, karena saat pemerintahan Gus Dur hal itu pernah dilakukan dan faktanya tidak efektif,” ujarnya. “Biarkan Diknas fokus di sektor pendidikan saja. Sedangkan olahraga harus ada yang fokus mengurusi," ujarnya.
Yon menambahkan kalau sejatinya Kemenpora berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang membantu perkembangan dunia olahraga. Selain itu juga harus bertanggung jawab pada semua aspek yang dibutuhkan para atlet, karena saat bertanding di luar negeri, duta-duta olah raga ini membawa nama negara.
“Walaupun sekarang sudah bisa kita lihat peran itu, namun masih sangat jauh seperti yang seharusnya,” urainya.
Sebagai contoh, anggaran olahraga telah dikucurkan pemerintah melalui Kemenpora ke pengurus besar (PB) organisasi-organisasi olahraga. “Nah mestinya dia juga harus bertanggung jawab ketika ada kegagalan di sana-sini. Ini yang belum maksimal, masih harus disinkronkan lagi antara kegiatan olahraga dengan tanggung jawab pemerintah,” jelasnya.
Dunia olahraga tidak mungkin maju tanpa adanya lembaga yang khusus menangani olah raga atas nama pemerintah. Sebab KONI sendiri sifatnya hanya koordinasi dengan PB-PB, sekaligus ikut juga bertanggung jawab atas kondisi prestasinya.
“Nah kalau nggak ada Kementrian Olahraga, ke mana mereka harus meminta anggaran untuk membangun prestasinya? Jadi kalau Kemenpora mau dibubarkan harus cari 'payung' baru,” jelasnya.
Yon menceritakan kalau ia pernah berdiskusi dengan tokoh olahraga seperti MF Siregar. Siregar pernah mengusulkan pembentukan Dewan Olahraga yang isinya Kemenpora, Diknas, Pariwisata dan beberapa kementerian lainnya. “Saya kira kalau model seperti ini bisa diimplementasikan, malah lebih tepat,” ujarnya.
Secara terpisah, Vennard Hutabarat, mantan kapten timnas futsal menilai, tidak sepakat jika Kemenpora dibubarkan. Sebab, masalah yang muncul adalah persoalan oknum yang tidak punya mental baik sebagai pemimpin.
“Kita sangat membutuhkan sosok Menpora yang bisa mengorganisir semua olahraga yang ada. Meskipun ada KONI, tapi tetap saja di struktur organisasi harus ada Menpora di atasnya,” ujar Vennard.
Sependapat dengan Yon Muis, Vennard mengatakan bahwa ketiadaan Kemenpora bisa berimbas pada persoalan anggaran. Ia tidak tahu bagaimana KONI bisa melakukan intervensi kepada pemerintah khususnya soal anggaran.
“Kalau KONI bisa langsung intervensi ke pemerintah dalam hal meminta anggaran keolahragaan, mungkin ada baiknya Menpora dihapuskan,” imbuhnya.
Sebaliknya jika pemerintah menyatakan perlunya memiliki menteri di setiap bidang, maka lembaga Kemenpora harus tetap ada. “Menurut saya sekarang ini masalahnya adalah orang yang tidak tepat ada di tempat yang tidak tepat,” cetusnya.
Sebagai salah satu pelaku olahraga, Vennard mengaku belum pernah bersinggungan langsung dengan Kemenpora. “Jadi keberadaannya tidak terlalu berarti buat saya, tapi belum tentu begitu buat atlet lain,” katanya.
Diakuinya, keberadaan Menpora tidak terlalu signifikan untuk prestasi, tapi lembaga tersebut tetap dibutuhkan untuk kelengkapan sistem.
Sumbangsih Menpora bagi atlet juga belum signifikan. Sebagai contoh, lanjut Vennard, banyak atlet bisa dapat uang dari Menpora saat mereka masih berjaya. Tetapi begitu mereka sudah pensiun, kehidupan atlet menyedihkan. Seperti Elyas Pical—juara tinju dunia yang akhirnya menjadi penagih utang atau populer disebut debt collector.
Mestinya hal-hal seperti ini menjadi perhatian Kemenpora.
“Tapi saya bilang, ini persoalan mental sebenarnya. Meskipun Menpora dihapus lalu KONI punya akses penuh ke pemerintah, tapi kalau mentalnya korup, tentu sia-sia saja. Begitu pula bila dialihkan ke Kemendikbud, kalau mentalnya korup ya sama saja,” tandasnya.
Sedangkan olahraga yang menyumbang puluhan gelar dunia dan membuat Indonesia terkenal, yaitu bulutangkis malah terkesan diabaikan.
Melihat kondisi seperti ini, apakah Kementerian Pemuda dan Olahraga masih dibutuhkan?
Menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan, Kementerian Pemuda dan Olahraga adalah penanggung jawab tertinggi sistem keolahragaan nasional. Tapi melihat fakta, perannya tidak dirasakan.
Yon Moeis, wartawan senior olahraga, sepakat jika Kemenpora dibubarkan. Ini juga pernah terjadi pada masa Kabinet Gotong Royong (2001-2004) saat dilebur ke dalam Departemen Pendidikan. Lagi pula ada atau tidaknya Kemenpora – saat berdiri sendiri maupun dilebur - tidak berdampak apa-apa bagi perkembangan olahraga nasional.
Karenanya pria yang sudah meliput berbagai ajang olahraga internasional tersebut menegaskan, pembubaran Kemenpora bisa saja dilakukan, namun tetap harus dipikirkan penggantinya sebagai wakil dari pemerintah.
“Jangan sampai ditangani Diknas, karena saat pemerintahan Gus Dur hal itu pernah dilakukan dan faktanya tidak efektif,” ujarnya. “Biarkan Diknas fokus di sektor pendidikan saja. Sedangkan olahraga harus ada yang fokus mengurusi," ujarnya.
Yon menambahkan kalau sejatinya Kemenpora berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang membantu perkembangan dunia olahraga. Selain itu juga harus bertanggung jawab pada semua aspek yang dibutuhkan para atlet, karena saat bertanding di luar negeri, duta-duta olah raga ini membawa nama negara.
“Walaupun sekarang sudah bisa kita lihat peran itu, namun masih sangat jauh seperti yang seharusnya,” urainya.
Sebagai contoh, anggaran olahraga telah dikucurkan pemerintah melalui Kemenpora ke pengurus besar (PB) organisasi-organisasi olahraga. “Nah mestinya dia juga harus bertanggung jawab ketika ada kegagalan di sana-sini. Ini yang belum maksimal, masih harus disinkronkan lagi antara kegiatan olahraga dengan tanggung jawab pemerintah,” jelasnya.
Dunia olahraga tidak mungkin maju tanpa adanya lembaga yang khusus menangani olah raga atas nama pemerintah. Sebab KONI sendiri sifatnya hanya koordinasi dengan PB-PB, sekaligus ikut juga bertanggung jawab atas kondisi prestasinya.
“Nah kalau nggak ada Kementrian Olahraga, ke mana mereka harus meminta anggaran untuk membangun prestasinya? Jadi kalau Kemenpora mau dibubarkan harus cari 'payung' baru,” jelasnya.
Yon menceritakan kalau ia pernah berdiskusi dengan tokoh olahraga seperti MF Siregar. Siregar pernah mengusulkan pembentukan Dewan Olahraga yang isinya Kemenpora, Diknas, Pariwisata dan beberapa kementerian lainnya. “Saya kira kalau model seperti ini bisa diimplementasikan, malah lebih tepat,” ujarnya.
Secara terpisah, Vennard Hutabarat, mantan kapten timnas futsal menilai, tidak sepakat jika Kemenpora dibubarkan. Sebab, masalah yang muncul adalah persoalan oknum yang tidak punya mental baik sebagai pemimpin.
“Kita sangat membutuhkan sosok Menpora yang bisa mengorganisir semua olahraga yang ada. Meskipun ada KONI, tapi tetap saja di struktur organisasi harus ada Menpora di atasnya,” ujar Vennard.
Sependapat dengan Yon Muis, Vennard mengatakan bahwa ketiadaan Kemenpora bisa berimbas pada persoalan anggaran. Ia tidak tahu bagaimana KONI bisa melakukan intervensi kepada pemerintah khususnya soal anggaran.
“Kalau KONI bisa langsung intervensi ke pemerintah dalam hal meminta anggaran keolahragaan, mungkin ada baiknya Menpora dihapuskan,” imbuhnya.
Sebaliknya jika pemerintah menyatakan perlunya memiliki menteri di setiap bidang, maka lembaga Kemenpora harus tetap ada. “Menurut saya sekarang ini masalahnya adalah orang yang tidak tepat ada di tempat yang tidak tepat,” cetusnya.
Sebagai salah satu pelaku olahraga, Vennard mengaku belum pernah bersinggungan langsung dengan Kemenpora. “Jadi keberadaannya tidak terlalu berarti buat saya, tapi belum tentu begitu buat atlet lain,” katanya.
Diakuinya, keberadaan Menpora tidak terlalu signifikan untuk prestasi, tapi lembaga tersebut tetap dibutuhkan untuk kelengkapan sistem.
Sumbangsih Menpora bagi atlet juga belum signifikan. Sebagai contoh, lanjut Vennard, banyak atlet bisa dapat uang dari Menpora saat mereka masih berjaya. Tetapi begitu mereka sudah pensiun, kehidupan atlet menyedihkan. Seperti Elyas Pical—juara tinju dunia yang akhirnya menjadi penagih utang atau populer disebut debt collector.
Mestinya hal-hal seperti ini menjadi perhatian Kemenpora.
“Tapi saya bilang, ini persoalan mental sebenarnya. Meskipun Menpora dihapus lalu KONI punya akses penuh ke pemerintah, tapi kalau mentalnya korup, tentu sia-sia saja. Begitu pula bila dialihkan ke Kemendikbud, kalau mentalnya korup ya sama saja,” tandasnya.