Kurun 2005-2012 terjadi 14.083 kasus atau 210 pertahun.
Kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas meningkat di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian survei yang dilansir Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Yayasan Denny JA bertajuk "Dicari Capres 2014 yang melindungi keberagaman" di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Jakarta, Minggu 23 Desember 2012.
Direktur Yayasan Denny
JA, Novriantoni Kahar, mengatakan sepanjang 1998-2004 (era pra-SBY)
terjadi 915 kasus kekerasan diskriminasi atau 150 kali dalam setahun.
Sementara, sepanjang 2005-2012 di era kepemimpinan SBY, kekerasan
terdahap kaum minoritas meningkat sebanyak 14.083 kasus.
"Yang artinya terjadi 210 kasus pertahun," kata Novri.
Survei ini menggunakan
metode mutistage random sampling dengan menggunakan instrumen Quick Poll
LSI. Menggunakan 440 responden diambil dari semua provinsi di
Indonesia. Margin error survei ini 4,8 persen.
Menurut Novri, perubahan
era orde baru ke reformasi mengalami perubahan politik dimana ditandai
dengan pergeseran kekerasan dan diskriminasi dari kekerasan ideologis ke
kekerasan primordial.
"Di Orde Baru kekerasan
yang menonjol adalah diskriminasi atau penganut kemunisme, pemerintah
bahkan aktif terlibat dalam diskriminasi itu dalam bentuk pelarangan
ideologi komunisme, kebijakan bersih lingkungan dan sebagainya,"
katanya.
Kekerasan primordial ini
terjadi karena adanya perbedaan identitas, terutama isu agama dan etnis.
Pelakunya adalah masyarakat versus masyarakat sendiri.
"Pemerintah memang umumnya tidak menjadi pelaku aktif dalam kekerasan horizontal itu," lanjutnya.
Menurutnya, total terjadi
2398 kasus yang terjadi selama reformasi. 65 persennya kasus perbedaan
agama. Misalnya, konflik muslim versus kristen di Maluku, konflik muslim
versus Ahmadiyah di Cikesik, atau konflik Sunny dan Syiah di Sampang.
"20 persen kekerasan
terjadi untuk kasus perbedaan etnis, misalnya kekerasan antara penduduk
asli dayak versus pendatang madura di Sampit, atau kekerasan massal atas
etnis China di Jakarta pada Mei 1998," kata Novri.
Novri mengungkapkan, 15
persen kekerasan terhadap gender atau wanita. Misalnya, kekerasan atas
wanita yang tidak menggunakan jilbab di Aceh atau perkosaan massal atas
wanita Thionghoa di era reformasi.
"Sebanyak 5 persen
kekerasan atas LGBT (lesbian, gay, biseks dan transgender), misalnya
kekerasan terhadap waria di beberapa lokasi," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar