Selamat Datang di Website blogger Jhon Demos Silalahi

2 Jan 2013

Cerita Pendek Orang Batak: Takdirku

“Takdirku” – Hari masih sangat subuh, hujan sisa tadi malam pun masih menetes ketika aku melangkahkan kakiku. Aku mencium aroma hujan yang segar, dinginnya subuh serasa di kampung halamanku, desa Simanullang Toruan. Olahraga jalanpagi seperti ini adalah rutinitas yang sudah ku jalani tiga tahun terakhir. Itu nasihat dokter. Terasa dingin di telapakku ketika menginjak trotoar basah berkerikil itu. Sengaja ku tanggalkan sepatuku dan berjalan perlahan menyusuri jalan yang masih lengang itu. Syal berukuran sedang milik istriku melilit di leher menahan hembusan angin yang menerpa wajah tuaku. Usiaku sudah senja. Enam puluh delapan tahun lebih sedikit. Pun kata orang, aku masih kelihatan sehat dan gesit, sejujurnya beberapa penyakit sedikit demi sedikit, menghinggapi tubuhku. Kata dokter itu karena faktor usia.
Saban pagi, bila tidak hujan, lima kilometer ke depan kujalani sendirian. Kadang istriku menemani. Biasanya di gang ke tujuh dari sini, temanku Pak Sutisna sudah menungguku. Kadang, kami bertiga, anak bungsunya Muis menemaninya. Aku iri melihatnya. Di hari tuanya kini, anaknya dengan setia menemani. “Sudah kewajiban” kata Muis suatu ketika kala menanyakan soal ketekunannya menjaga Pak Sutisna. Di ujung sana ada pasar pagi Subang, yang setiap pagi ramai dikunjungi, membuat jalanan ini macet. Namanya juga pasar tumpah. Disana ada pak Dayan, sama seperti usiaku, sudah senja. Tapi fisiknya lebih kuat daripada ku. Aku tak percaya dia sudah tujuh puluh. Dilihat dari tubuhnya, mungkin masih empat lima. Seorang penjual nasi uduk yang tak pernah absen, kecuali lebaran. Ngobrol dan menikmati sarapan pagi nasi uduk buatanya terasa spesial. Sesekali anaknya yang selalu menemaninya berjualan menimpali obrolan kami. Mereka, sahabat-sahabatku ini selalu memanggilku dengan sebutan Oppung. “Itu sebutan yang sopan untuk seorang kakek-kakek, bukan?” tanya Pak Dayan. Entah darimana dia tahu sebutan itu.
Seperlemparan batu dari tempatku berdiri ini, adalah bengkel tambal ban Las Marohanta. Kurasa, orang batak yang paling rajin di kota kecil ini adalah amaniMarsaulina. Jam empat subuh sudah buka dan tutupnya tak pernah dibawah jam dua belas. Tak habis pikir, berapa jam dia tidur?. Mungkin karena masih muda. Aku teringat masa empat puluh tahun lalu, Perumnas Mandala hingga ke Pasar Sambu masih bisa kujalani. Tetangga amaniMarsaulina sudah hapal betul kebiasaanya itu. Salah satunya adalah menghidupkan musik, hingga tetangga yang berjarak setengah kilo bisa mendengarnya. Dangdut Sunda, Pop, Barat, Lagu Batak, apa saja. Kadang aku tersenyum ketika melewatinya kudengar lagu batak.
cerpen orang batak takdirku
illustrasi: Takdirku, cerpen orang batak
Serasa di Perumnas Mandala, pikirku. Kadang, malam hari amaniMarsaulina mengunjungiku dengan papan caturnya. Dia seorang tetangga yang baik, dari umur, ia lebih cocok dipanggil anak. “Mangapian do iba diangka dongan na marama–saya cemburu lihat orang yang punya bapak” ujarnya. Benar. Umur dua bulan, dia sudah menjadi anak yatim. Kegetiran hidup di bonapasogitlah yang menghantarnya ke pelosok Jawa Barat ini.
Tak terasa sudah di depan bengkelnya. Kulihat amaniMarsaulina mulai membereskan alat kerjanya. Seperti biasa, dia menyapaku, “Oppung, na olah raga do?–Oppung, olah raga?” ujarnya setengah berteriak.
“Olo” jawabku singkat. Aku tertegun ketika mendengar lagu yang diputarnya. Jujur, belum pernah kudengar lagu ini. So marlapatan marende, margondang, marembas hamu, molo dung mate au. Uju dingolungkon ma nian, tupa baen na denggan.
“So jo, ai songon na tabo lagum di manogot on,–Sebentar, lagumu sungguh enak kudengar di pagi hari ini” ujarku
“Hona tu roham lagu i, Oppung?, Putri Silitonga itu, ima lagu Uju di Ngolungkon ma nian, –lagunya mengena di hatimu, Oppung?, penyanyinya Putri Silitonga, judulnya Uju di Ngolungkon ma nian”
“Ah, daong. –Ah tidak–” jawabku pendek.
“Kupinjam lah dulu, Amang, aku ingin mendengarnya di rumah” imbuhku
“Gampanglah itu, nanti malam kuantar ke rumah” jawab amaniMarsaulina
Aku termenung dan syair lagu itu selalu terginang di kepalaku.
Teringat kepada anak-anakku. Jantungku berdegup kencang. Jujurnya, aku tak ingin mengenangnya. Aku selalu mencari kesibukan hanya untuk melupakan semua peristiwa yang menimpa keluargaku.
* * *
Saat bayang-bayang anakku menghinggapi kepalaku, perlahan tekanan darah meninggi. Istriku sudah paham betul penyakitku yang satu ini. Dia sangat kuatir aku mengalami storoke-kelumpuhan, akibat tekanan darah tinggi yang naik. Bukankah stroke ringan sudah pernah kualami?. Lihat lah wajahku sebelah kanan ini, tidak normal buakn?. Masih untung, medis bisa menyelamatkanku dari kelumpuhan, semua berkat doa dan semangat yang diberikan oleh istriku.
“Kenapa harus di pikirkan, sudahlah Pa, inilah suratan tangan kita” ujar istriku lembut seraya menyiapkan jus timun untuk menurunkan tekanan darahku.
“Tak ada niat untuk mengingatnya, tapi ada saja hal yang membuatku terkenang kesana”.
Aku tak habis pikir melihat perlakuan anak-anakku kepadaku. Ke enam anakku mencampakkan diriku. Dikala usiaku sudah senja, hal pahitlah yang kuterima dari mereka. Harus kuterima kenyataan pahit, terusir dari rumah yang kubangun bersama istri pertamaku, ibu mereka. Tak berdaya menghadapi kemauan ke enam anak-anakku. Hal yang tak masuk akal kuperoleh dari mereka.
Apa pernah aku berbuat jahat pada anak-anakku?, tidak!.
Masa itu, keluargaku cukup bahagia. Anak-anakku tumbuh sempurna, sehat dan pintar-pintar. Sekuat tenaga, ku sekolahkan ke enam anakku. Aku salut melihat kegigihan almarhum istri pertamaku. Bila hanya dengan gaji bulanan sebagai seorang pegawai negeri, mana mungkin ke enam anakku bisa lulus dari strata satu. Bahkan seorang diataranya berpendidikan magister. Dia orang yang ulet dan rajin, usaha dagangan kelontongnya ternyata bisa menambah penghasilan ku yang pas-pasan.
Hidup selalu ada dukanya. Itu tak bisa dipungkiri. Ibarat sisi kepingan uang logam, satu duka dan sisi sebelahnya adalah suka. Sangat tipis perbedaanya.
Kematian istriku membuatku jatuh. Benar, jika penyanggah rumah adalah tiang-tiang kokoh, maka tiang kokoh itulah istri. Aku merasakan itu. Dihari tuaku, aku didahului istrikut tercinta menghadap sang halid. Anak-anakku yang sudah dewasa, bahkan beberapa sudah berumahtangga memintaku untuk tidak memikirkan pernikahan lagi. “Toh, ada kami yang merawat bapak, bila bapak sakit” kata Jonggi anaklelakiku paling besar.
“Amang, tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk menduakan ibumu” ujarku
“Iya, Pa, kami akan menjaga Bapak” ujar Manaor anak bontotku
Aku tak ingat persis. Bertahun aku hidup menduda. Kehidupan terasa hanpa. Perlahan anak-anakku menjauh dariku. Mereka lebih mementingkan urusan masing-masing. Aku kesepian. Ingin rasanya segera menyusul istriku. Menuntut kepada sang halid untuk mempertemukanku dalam kematian. Apa bedanya orang mati dan orang hidup bila perasaan tersiksa. Aku tak menuntut banyak dari anak-anakku. Tapi merekalah harapanku. Hidup matinya diriku ada pada mereka.
Tuhan, kenapa jadi seperti ini?.
Masak sendiri, cuci baju, makan, dan lainya. Bahkan untuk berobat ke rumah sakit pun kulakukan sendiri. Semua anak-anakku terbuai dalam kegiatan masing-masing. Tak sekali dua kali aku mengingatkan, dan meminta mereka untuk memperhatikan kebutuhanku. “Aku sudah renta, Amang, Boruku, jangan terlalu sering meninggalkanku sendirian dirumah, sepi” pintaku kala itu
“Ah, Bapak, cari kesibukan sendirilah” ujar Halomoan, ketus
“Ikut kegiatan manula di gereja saja, Pa” ujar Rumondang
“Inilah upahku?” aku bertanya pada siriku sendiri.
Menikah bukan untuk kesenangan daging. Tak lebih adalah supaya aku tak hidup dalam kesunyian. Itulah pemahamanku kala itu, ketika kurasakan anak-anakku tak ada yang memberikan perhatiannya padaku. Anak-anakku tidak menerima keputusanku untuka menikah lagi. Aku tak menyangka, kalau pernikahan itu pula awal kehancuran keluarga besar kami. Apa susahnya menerima seseorang yang mampu dan mau mengurus orang tua sendiri?. Menikah bagi seorang duda bukanlah sebuah aib. Tidak dilarang agama, dan pernikahanku bertujuan baik, supaya ada yang merawatku.
Aku sadar, bahwa aku tak mungkin memaksa anak-anakku untuk merawatku. Biarlah orang lain melakukanya. Supaya anak-anakku bebas melakukan aktivitas mereka. Akua tak mau hidup di Panti Jompo, seperti yang pernah diutarakan Jonggi kepadaku.
“Kelak, bila suda semakin menua, Bapak akan kami masukkan ke pantijompo” ujar Jonggi
Darahku naik, aku marah, sangat marah.
“Waktu kau lahir, aku dan ibumu tak ada niat untuk menitipkanmu ke penitipan bayi, ingat itu” ucapku dengan nada tinggi.
Sepertinya mereka bukan anakku lagi, tapi orang lain. Entah iblis mana yang merasuki jiwa semua anak-anakku hingga mereka tega mengusir aku dan istri keduaku dari rumah yang kubangun sendiri. “Ini rumah ibu kami!” kilah mereka ketika menyuruhku pindah, tepatnya mengontrak rumah.
Sakit rasanya mendengar ucapan itu. Aku ini sudah renta. Seandainya mereka bukan anakku pun, mereka tak pantas mengusir orang dari rumah. Tapi itulah takdirku. Aku gagal. Apa dosa yang kuperbuat sehingga aku menuai buah-buah kehidupan seperti ini?. Aku mengajarkan mereka cinta kasih sebagai balasan aku terima perlakuan kasar.
Aku mengajarkan mereka iman kristiani, untuk menghormati orang tua, tapi yang kuterima adalah kata-kata kasar. Demi harta kah?. Aku menggugat takdirku, ini tidak adil. Aku akan iklas menerima semua ini bila si pemberi takdir menemukan ada perlakuanku yang kasar kepada anak-anakku ketika mereka masih kecil. Aku menggugat, dimana salahku. Dimana keadilan?, pantaskah ini kuterima?.
Aku gagal membina anak-anakku, dan gagal mengajarkan mereka tentang makna menghormati orang tua. Aku malu bertemu kerabatku satu kampung. Pasti mereka mencap ku sebagai ayah yang gagal. Sendainya tiba saatnya aku menngembalikan nafas ini kepada pemiliknya, aku tak sudi jasadku di kuburkan di kampung halamanku, seperti pesanku pada istriku. “Bila aku meninggal, kuburkanlah disini, jangan membawaku ketanah kelahiranku, apalagi ke sisi ibu yang melahirkanku, aku akan malu bertemu denganya di sorga sana, dia pasti memarahiku karena aku seorang ayah yang gagal”. Biarlah tanah perantaun ini yang menjadi kuburanku. Itu wasiatku.
Rasa sakit hati kepada anak-anakku membuatku jatuh dalam kehidupan ini. Aku tak ingin menemui mereka lagi, biarlah dikehidupan mendatang–bila ada– bisa bertemu kembali.
Apa aku mendoakan karma bagi mereka?. Tidak, karma bukan urusanku. Ada yang memberikan penilaian kepada semua umat manusia di bumi yang fana ini. Aku tak mau mengutuk, menyumpahi ke enam anakku, biarlah semuanya ditimpakan kepadaku, bahwa aku adalah laki-laki gagal.
***
Kulangkahkan kakiku perlahan, ada keraguan untuk melanjutkan jalanku. Dadaku sesak, aku tahu, ini pertanda tekanan darahku naik. Mungkin aku harus segera pulang, tak ingin terjadi apa-apa pada diriku.
“Kenapa balik, Oppung?, biasanya sampai ke pasar pagi sana?” ujar amaniMarsaulina
“Sepertinya cuaca kuarang baik, mungkin sebentar lagi akan hujan” aku berbohong
Lagu tadi masih terginang di kepalaku, aku tak mampu mengusirnya. Aku teringat akan darah dagingku yang telah mencampakkanku.
Hamu anakkonhu, tampuk ni pusu-pusungki
Pasabar ma amang, pasabar ma boru, lao pature-ture au
Nunga matua au, jala sitogu-toguon i
Sulangan mangan au, siparidion au, alani parsahitonki
Somarlapatan marende, margondang, marembas hamu, molo dung mate au
Somarlapatan nauli, nadenggan, patupaon mu, molo dung mate au
Uju di ngolungkon ma nian, tupa ma bahen angka na denggan
Asa tarida sasude holong ni rohami, marnatua-tua i.
Ah, itu hanya lagu.
Ku ingin menjalani sisa kehidupan ini dengan senyuman, bersama istri keduaku yang dengan setia dan penuh kasih merawatku. Toh, sebentarlagi malos ma bulung-bulung sian tanganku, aku kembali ke dunia yang kekal, kematian. Disana, aku pasti bertemu dengan ibu, ayah dan istriku NaiJonggi yang sudah menantiku dengan senyum, dengan dekapanya yang hangat.

Oleh: Hendry H L Gaol
Alamat di bonapasogit: Pakkat Humbang Hasundutan Sumatera Utara
alamat : Taman Sentosa Cikarang-Bekasi Jawabarat
FB: www.facebook.com/latteung

1 komentar: