Laut Cina Selatan : Konflik Masa Depan Dunia.
Beberapa decade terakhir ini, kita disajikan berbagai konflik militer di
berbagai belahan dunia. Namun yang paling banyak terdengar gaungnya
adalah konflik militer di Timur Tengah, seperti Perang Iran-Irak, Invasi
NATO ke Afganistan, Irak, ancaman ‘nuklir’ Iran, dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dimasa lalu, konflik militer di Timur
Tengah merupakan konflik militer yang paling mendapat perhatian dunia
Internasional.
Namun Trend ini sepertinya akan sedikit bergeser kearah Asia Tenggara.
Hal ini bisa di lihat perkembangan militer dan pengaruh Geopolitik Cina
yang semakin besar di kawasan ASEAN yang dahulunya merupakan “wilayah
kekuasaan” Amerika Serikat sebagai “penguasa tunggal” pasca tumbangnya
Uni Soviet (Perang Dingin). Perkembangan Militer China yang begitu pesat
membuat pengaruh China begitu kuat di ASEAN, bahkan sudah bisa
menandingi pengaruh Amerika Serikat dan Sekutunya di ASEAN. Nah, Amerika
Serikat yang tidak ingin kehilangan pengaruhnya di ASEAN, akhirnya
merubah focus kehadiran militer mereka yang semula di fokuskan di Timur
Tengah, akhirnya di geser ke Asia Pasific. Hal ini sudah di konfirmasi
oleh pemerintah AS, dan ditandai dengan penempatan sekitar 2500
personel Marinir AS di Australia.
Kawasan Laut Cina Selatan di ASEAN yang merupakan jalur pelayaran paling
sibuk di dunia, memiliki makna yang sangat penting bagi Amerika
Serikat maupun China. Jika mereka bisa menguasai laut Cina Selatan,
maka secara otomatis mereka menguasai jalur perdagangan ekonomi yang
sangat besar dan akan menaikkan daya tawar negara mereka. Amerika yang
selama ini berkuasa disana, sekarang sudah mendapat penantang baru
yaitu China.
China yang begitu menyadari pentingnya Jalur Laut Cina Selatan, dengan
didukung oleh militer mereka yang semakin kuat secara drastis, melakukan
sebuah langkah yang sedikit “tidak masuk akal” namun cukup “beralasan”
untuk melakukan Klaim Sepihak atas Kepulauan Paracel dan Spratly yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Dikatakan “tidak masuk akal” karena wilayah yang di klaim berada ribuan kilometer dari wilayah daratan terluar China. Dikatakan “beralasan”
karena mereka memang memiliki alasan yang kuat (menurut versi mereka)
untuk melakukan claim, yaitu karena begitu pentingnya Jalur Laut Cina
Selatan di masa yang akan datang dan begitu kayanya kepulauan yang di
klaim tersebut. Disini terlihat jelas bahwa Cina yang didukung militer
yang sangat kuat begitu percaya diri untuk melakukan klaim wilayah
“hanya” didasari oleh sejarah ribuan tahun yang lalu.
Akhirnya, saat ini, Konflik Laut China selatan mempertemukan dua
kekuatan dunia saat ini yaitu China dan Amerika Serikat beserta
sekutunya dalam berebut pengaruh di kawasan ASEAN untuk mendapatkan “Kepentingan Mereka Sendiri”. Negara-negara ASEAN yang seharusnya bersatu untuk kepentingan ASEAN, juga terpecah karena masing-masing negara memiliki Kepentingan-kepentingan berbeda di balik konflik ini.
Satu ASEAN, Berbeda Kepentingan di balik Konflik Laut Cina Selatan.
Negara ASEAN yang seharusnya menjadi “pemilik sah” dari Kepualaun
Paracell dan Spartly, akhirnya terpecah oleh berbagai konflik
kepentingan di baliknya. Kepualauan Paracell yang di Claim oleh China,
juga di klaim oleh Vietnam dan Taiwan. Kepulauan Spartly juga diklaim
oleh China, dan negara ASEAN lain juga terlibat dalam klaim secara
parsial terhadap kepulauan ini. Tercatat Vietnam mengklaim sebagian
kepualaun Spartly, Malaysia juga melakukan klaim sebagian kepualaun
Spartly, tak tertinggal Filipina, Taiwan dan Brunai Darusalam. Bahkan
sesame negara ASEAN juga memiliki klaim yang saling tumpang tindih.
Itulah sebabnya negara-negara ASEAN tidak bisa bersatu menghadapi China
dalam masalah klaim kepulauan ini.
Negara ASEAN dan Posisi Mereka dalam Konflik Laut Cina Selatan.
Ada satu pepatah yang menurut saya berlaku dalam kasus ini, yaitu “Posisi satu negara dalam satu konflik, bergantung kepada kepentingan negara tersebut terhadap konflik itu”.
Bisa dikatakan bahwa semua negara ASEAN, baik yang terlibat secara
langsung mauapun tidak langsung dalam konflik LCS, akan menaruh
perhatian besar terhadap kepentingan mereka dalam menentukan posisi
mereka. Nah, saat ini mari kita kaji posisi negara-negara ASEAN dalam
konflik LCS ini. Mungkin tidak semua negara yang saya sebutkan, tetapi
hanya negara yang “cukup berpengaruh” saja.
Vietnam adalah negara yang paling keras menentang klaim sepihak Cina
atas kepulauan Paracell dan Spratly. Hal ini bisa dilihat dari
modernisasi militer Vietnam secara besar-besaran untuk mengimbangi
militer China. Sebut saja pembelian 6 Kapal Selam Kilo Class dari Rusia,
rudal Yakhont versi Land Based, pembelian puluhan jet Tempur Sukhoi
yang semuanya dari Rusia. Ini sudah menunjukkan sikap Vietnam yang
menentang China. Amerika Serikat yang mengetahui sikap Vietnam ini
berusaha untuk melakukan pendekatan dengan Vietnam untuk membendung
pengaruh China di ASEAN. Vietnam “mau” menerima Amerika tetapi tidak
dengan tangan yang terlalu terbuka. Memori perang Vietnam jelas masih
mengakar secara kuat di Vietnam, sehingga Vietnam tidak terlalu membuka
diri bagi Amerika. Vietnam memang membuka diri dengan Amerika berupa
latihan gabungan AL Vietnam dan AL AS di sekitar laut China Selatan
beberapa waktu lalu. Tapi itu tidak menandakan Vietnam adalah sekutu AS,
karena Vietnam lebih Condong kepada Rusia yang juga memiliki
“kepentingan tidak langsung” dalam mengimbangi kekuatan Amerika dan
China.
Filipina adalah salah satu negara yang telibat langsung dalam konflik
ini, dan bisa dikatakan memiliki kekuatan militer yang sangat lemah
sekali. Filipina sama sekali tidak memiliki kapabilitas untuk
mempertahankan klaim mereka atas Kepulauan Spratly, karena militer yang
sangat lemat. Padahal secara letak Geografis, Filipina adalah negara
yang “paling masuk akal” sebagai pemilik kepualan Spartly. Oleh
sebab itu, mau tidak mau, Filipina harus meminta bantuan negara lain
untuk menghadapi China dan Negara lain yang juga melakukan klaim
terhadap kepulauan Spartly. Jadilah Filipina menjadi sekutu Amerika,
yang sama-sama memiliki kepentingan untuk menghadapi musuh bersama yaitu
China.
Malaysia yang juga terlibat secara langsung dalam konflik ini, belum
pernah secara langsung menunjukkan keberpihakan mereka ke Amerika
Serikat atau China. Malaysia jelas tidak mungkin berpihak kepada China,
karena mereka memiliki klaim yang tumpang tindih. Namun Malaysia
sepertinya kelihatan masih sedikit “malu-malu” memperlihatkan
keberpihakan mereka kepada Amerika dalam membendung pengaruh China di
konflik LCS ini. Malaysia kelihatannya mencoba “bermain aman”
dengan tidak terlalu terang-terangan menantang China, dan juga tidak
terlalu terang-terangan berpihak kepada Amerika Serikat. Malaysia saat
ini lebih memilih memodernisai militer mereka dengan membeli
produk-produk Rusia dan Prancis dibandingkan produk-produk AS.
Singapura yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik ini, namun
memiliki kepentingan yang sangat besar dalam konflik ini. Jika terjadi
konflik berkepanjangan dalan konflik LCS ini, maka akan mengganggu
stabilitas kawasan yang secara langsung akan berdampak kepada
perekonomian negara tersebut. Selain itu, Singapura yang merupakan “Sahabat Karib”
Amerika Serikat jelas akan berpihak kepada Amerika Serikat karena
mereka memiliki kepentingan yang sama, yaitu membendung pengaruh China.
Namun Singapura juga tidak mau secara terang-terangan “menentang China”,
hal ini bisa dilihat dari pernyataan petinggi Singapura beberapa waktu
lalu bahwa Singapura adalah sahabat bagi China. Tentu pengertian
sahabat disini adalah bahasa diplomatis yang maknanya sarat dengan
kepentingan dan trik diplomasi. Namun dibalik pernyataan Sahabat
tersebut, Singapura memberikan ruangan bagi kehadiran militer Amerika
di wilayah mereka, untuk memudahkan Amerika menjangkau kawasan Laut
Cina Selatan.
Thailand setali tiga uang dengan Singapura, sepertinya akan lebih
memihak Amerika Serikat. Hal ini karena mereka tidak secara langsung
terlibat, namun mereka memiliki konflik dengan Kamboja yang merupakan
sekutu dekat China. Seperti kita ketahui bahwa militer Thailand
kebanyakan menggunakan alutsista produk Amerika.
Dimana Posisi Indonesia??
Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling “netral”
dalam konflik Laut China Selatan ini. Netral dalam artian netral yang
berdasarkan kepentingan Indonesia juga tentunya. Indonesia tidak mau
secara terang-terangan mendukung Amerika dalam membendung pengaruh
China. Indonesia juga tidak melakukan penolakan berarti terhadap “pendekatan” yang dilakukan China dalam mengimbangi kekuatan Amerika di ASEAN.
Seperti kita ketahui, Indonesia sudah mengalami pengalaman pahit dalam Embargo Militer
yang dilakukan Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu. Hal ini
menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi sepenuhnya
percaya kepada Amerika Serikat. Indonesia memiliki kepentingan untuk “melemahkan”
pengaruh Amerika Serikat di ASEAN. Kita tau selama ini, kualitas
alutsista yang diizinkan oleh Amerika Serikat untuk dimiliki Indonesia
akan selalu berada kualiatas Alutsista yang diberikan kepada Singapura,
Australia dan Malaysia. Ini sepertinya sudah merupakan Grand Design
dari Amerika dan Sekutunya untuk membatasi kekuatan militer Indonesia.
Hal ini karena bayangan kekuatan militer Indonesia seperti di tahun
1960-an didukung posisi geografis strategis dan luas wilayah, akan
membuat pengaruh AS dan sekutunya berkurang bila militer Indonesia
kuat.
Nah, bila pengaruh China semakin kuat di ASEAN, maka pengaruh Amerika
Serikat akan semakin menurun, sehingga Amerika tidak lagi bisa
menerapkan Grand Design untuk menempatkan kekuatan militer Indonesia
untuk selalu berada di bawah kekuatan miliiter Singapura, Australia dan
Malaysia. Meningkatnya pengaruh China dan Rusia di ASEAN dan Asia
Pasifik, secara tidak langsung sangat bermanfaat untuk Indonesia untuk
tidak lagi pasrah menerima Grand Design Amerika dan Sekutunya untuk
membuat militer Indonesia dibawah Singapura, Australia dan Malaysia.
Namun disisi lain, meningkatnya pengaruh China di ASEAN, dimasa yang
akan datang akan bisa menjadi blunder bagi Indonesia. Sebut saja wilayah
Kepulauan Natuna yang juga berada di laut China Selatan, juga bisa
saja diklaim oleh China di masa yang akan datang. Melihat peluang dan
tantangan inilah Indonesia melakukan “permainan cantik” dimana
satu sisi memberi ruang kepada Amerika Serikat dan disisi lain juga
memberi ruang kepada China untuk berebut pengaruh kepada Indonesia.
Mengapa China dan Amerika Berebut pengaruh di ASEAN melalui Indonesia??
Saat ini, bisa dikatakan dua kekuatan dunia yaitu China dan Amerika
sedan berebut pengaruh di ASEAN. Tidak hanya berebut pengaruh secara
militer, tetapi juga berebut pengaruh dalam hal idiologi dan juga
ekonomi. Terkait dengan konflik Laut Cina Selatan, keduanya juga berebut
pengaruh secara militer untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara
ASEAN. Namun seperti yang saya jelaskan diatas, bahwa Indonesia
termasuk negara yang paling “netral”. Posisi netral Indonesia
dan fakta bahwa Indonesia adalah negara paling besar dan paling
berpengaruh di ASEAN, membuat kedua kekuatan tersebut berusaha
mengambil hati Indonesia agar Indonesia mendukung salah satunya.
Sebut saja Amerika yang “sedemikian baiknya” bersedia
memberikan Hibah 24 F-16 Block 25 plus 6 pesawat F-16 sebagai
Sparepart. Hibah tersebut adalah hibah gratis, namun Indonesia
menginginkan untuk melakukan upgrade pesawat tersebut agar menjadi “setara”
dengan F-16 Block 52. Bahkan desas-desu berkembang, bahwa Amerika
Serikat juga memberikan izin kepada Indonesia untuk membeli rudal
Canggih yaitu AIM-120 C sebagai senjata untuk F-16 ini nantinya. Hal
ini dilihat dari paket upgrade tersebut yang menyertakan launcher untuk
rudal AIM-120 C ini. Timbul pertanyaan, kenapa Amerika bisa menjadi
sedemikian baik kepada Indonesia?? Bukankah beberapa waktu lalu,
Amerika tanpa belas kasihan memberlakukan Embargo Militer kepada Indonesia? Dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh petinggi Amerika, terlihat bahwa mereka memberikan ”kebaikan” ini kepada Indonesia agar Indonesia mau bekerja sama dengan Amerika dalam membendung pengaruh China di ASEAN.
Tidak hanya sebatas itu, parlemen Amerika yang biasanya sangat “cerewet”
mengkritisi setiap bantuan/akuisisi alutsista yang dibeli Indonesia
dari Amerika maupun negara sekutunya. Namun kali ini, protes mengenai
hibah F-16 ke Indonesia ini sepertinya sangat sedikit sekali. Menurut
analisa saya sebagai admin AnalisisMiliter.com, hal ini dipengaruhi oleh
resesi ekonomi yang dialami Amerika dan juga karena parlemen Amerika
sadar bahwa Indonesia memiliki peranan besar dalam membendung pengaruh
China di Indonesia.
Tidak hanya hibah F-16 saja, Amerika juga menjadi “sedemikian baik” dengan memberikan bantuan radar maritime untuk memantau Selat Malaka untuk Indonesia. Tak tanggung-tanggung, Amerika memberikan 12 unit radar maritime untuk Indonesia.
Menurut Amerika dan pemerintah Indonesia, radar ini tidak dimaksudkan
untuk memata-matai Indonesia. Namun penyataan diplomatis tersebut tidak
usah kita terima mentah-mentah. Namun selama itu memberikan keuntungan
bagi kepentingan Nasional Indonesia, why not?? Terkait Radar maritime
ini, China tidak mau ketinggalan memberikan pengaruh dengan menawarkan bantuan paket radar maritime kepada Indonesia.
Tak tanggung-tanggung nilai bantuan ini mencapai Rp 1,5 Triliun sebuah
nilai yang cukup fantastis. Terlihat dengan jelas sekali kedua negara
ini mencoba berebut pengaruh di Indonesia. Indonesia sih senang-senang
saja menerima bantuan tersebut, selama hal itu bermanfaat positif bagi
Indonesia dan juga tidak merugikan Indonesia.
China juga tidak mau ketinggalan dengan Amerika dalam berebut pengaruh
di Indonesia. Jika Amerika begitu baik dengan memberikan Hibah + Upgrade
F-16, maka China memberikan bantuan lain yang memang benar-benar di
butuhkan Indonesia. Bantuan yang saya maksud adalah Transfer of Technology untuk rudal anti kapal C-705 dari China.
Kita tau sendiri bahwa Indonesia sedang giat mengembangkan roket
dengan harapan suatu hari nanti Indonesia bisa memproduksi Rudal
sendiri. Kendala yang saat ini dialami Indonesia dalam mengembangkan
Rudal adalah masalah pemandu dalam rudal. Teknologi ini belum dikuasai
oleh Indonesia. Dengan adanya ToT rudal C-705 dari China ini, maka
Indonesia bisa belajar banyak bagaimana membuat pemandu rudal dan juga
masalah detail lainnya, sehingga suatu saat Indonesia bisa
mengembangkan rudal sendiri. ToT Rudal (walaupun “hanya” sekelas C-705)
akan sangat berarti kepada Indonesia, karena jika Indonesia berhasil
dalam ToT ini dan punya kapabilitas untuk membuat rudal sendiri, maka
secara otomatis akan menaikkan daya gentar militer Indonesia. Jika
roket buatan LAPAN saja sudah memberikan efek gentar bagi tetangga,
maka Rudal tentunya akan memberikan efek gentar yang jauh lebih besar.
Mengapa China begitu baik kepada Indonesia? Kita tau bahwa Indonesia
bukan sekutu dekat China, lalu mengapa China begitu baik kepada
Indonesia? Jawabannya adalah untuk mengimbangi pengaruh Amerika di
Indonesia, sekaligus memastikan Indonesia tetap pada posisi netral
(tidak menentang China) dalam konflik Laut China Selatan. Indonesia yang
memang dari awal berada di posisi yang cukup netral tentunya tidak
akan terlalu keberatan menerima Tawaran ToT C-705 ini. Bahkan Indonesia
sangat senang sekali menyambut tawaran ini. Hal ini karena Indonesia
memiliki kepentingan nasional sendiri di balik ToT C-705 ini. Selama
kerja sama dengan China ini menguntungkan Indonesia, maka Indonesia akan
menerima bantuan dengan tangan terbuka.
Sebenarnya masih banyak lagi perbutan pengaruh antara AS dan China di
Indonesia. Namun dari penjelasan diatas sudah cukup menjelaskan bahwa
posisi strategis dan posisi netral Indonesia dalam konflik Laut China
Selatan sangat penting artinya bagi China maupun Amerika. Jika China
berhasil mempengaruhi Indonesia untuk mendukung mereka dalam konflik
Laut China Selatan, maka China akan memiliki posisi tawar yang lebih
besar dalam konflik ini. Demikian juga dengan Amerika, jika mereka
berhasil mempengaruhi Indonesia, maka Amerika juga memiliki posisi tawar
yang labih besar di konflik Laut China Selatan ini.
Konflik LCS : Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Indonesia benar-benar menjadi
primadona dalam konflik Laut China Selatan ini. Ini merupakan sebuah
tantangan yang harus di sikapi bijak oleh Indonesia dengan tetap berada
pada garis netral yang tidak memihak pihak yang manapun, namun tetap
memelihara tercapainya perdamaian dalam konflik LCS ini.
Konflik LCS ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan
modernisasi militernya dengan menerima bantuan militer baik dari China,
Amerika, Rusia, Australia dan lainnya. Posisi netral Indonesia membuat
bebagai tawaran datang, dan Indonesia harus menangkap peluang ini untuk
melakukan modernisasi militer secara besar-besaran, namun tetap
memperhatikan kepentingan Indonesia di balik semuanya.
Modernisasi militer Indonesia ini sangat penting artinya bagi Indonesia
untuk menghadapi kemungkinan perkembangan konflik Laut China Selatan di
masa yang akan datang dan konflik Ambalat
yang saat ini menjadi konsern Indonesia. So, Indonesia harus
benar-benar memanfaatkan posisi strategis dan posisi netralnya untuk
mendapatkan sebanyak mungkin hal-hal yang menguntungkan kepentingan
nasional Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar