Selamat Datang di Website blogger Jhon Demos Silalahi

17 Jan 2013

Belanda Cuma Sahabat dalam Pesta?

 Den Haag - Tahun 2012 meninggalkan catatan diplomatik cukup beriak dalam hubungan bilateral RI-Belanda. Jika Belanda tetap tidak sadar diri, bangsa Indonesia pada akhirnya bisa bertanya: apakah Belanda sungguh-sungguh sahabat sejati, dalam suka dan duka, atau cuma sahabat dalam pesta?

Sikap parlemen Belanda mengenai rencana penjualan tank Leopard kepada Indonesia menjadi catatan tersendiri. Parpol-parpol penentang secara tidak fair menggunakan alasan karena Indonesia adalah negara Islam, disamakan dengan Mesir, isu HAM di Papua dan hak-hak minoritas. Padahal Indonesia bukan negara Islam, meskipun mayoritas rakyat Indonesia pemeluk agama Islam. Mereka tahu itu, tetapi memang terkesan sengaja mengada-ada. Bukankah belum lama Indonesia telah membeli 4 kapal militer canggih tipe korvet produksi baru Belanda dan lancar-lancar saja, tak ada persoalan?

Sikap parlemen Belanda itu dapat mengundang tanda tanya dan membangunkan kembali memori lama di benak bangsa Indonesia: dari Cornelis de Houtman yang mengelabui pedagang Banten dengan valuta tidak sah demi mendapatkan rempah-rempah, pelayaran Hongi, sampai penangkapan Diponegoro: bisakah Belanda dipercaya? Tentang hak-hak minoritas, Belanda justru dapat dikatakan sudah cukup tertinggal dari Indonesia dan seyogyanya malu hati untuk menggurui dalam bidang ini. Konstitusi dan kebijakan negara Indonesia tegas menjamin keyakinan dan pandangan hidup warganya yang beragam, bahkan Hari Raya keyakinan minoritas dijunjung tinggi sebagai hari libur nasional, sementara Belanda belum mampu mendekati kebijakan seperti itu.

Mengenai kekerasan dan konflik antar-elemen warga juga sering terjadi di Belanda, baik dipicu oleh diskriminasi, sentimen rasisme, warna kulit, maupun keyakinan dan hak-hak minoritas. Beberapa kali terjadi rumah-rumah ibadah kelompok minoritas di Belanda dibom molotov, dicorat-coret dengan teks-teks penghinaan, dan banyak lagi insiden lainnya (lihat Google dengan katakunci berbahasa Belanda). Bahkan, diskriminasi terhadap minoritas di Belanda tidak hanya terjadi antar-elemen masyarakat, melainkan juga termanifestasi secara struktural dalam bentuk kebijakan seperti dicatat Human Right Watch. Kekerasan terhadap minoritas juga dilakukan secara sistematis pada tingkat lembaga parlemen atas nama kebebasan, meskipun bentuk kekerasan itu baru sebatas kekerasan verbal. Indonesia bukan taman Surga Eden, tidak menutup mata bahwa masih ada persoalan antar- masyarakat, tetapi dalam bidang ini, sorry... Belanda tak bisa lagi menggurui.

Bagaimana hubungan RI-Belanda pada tahun ini, 2013? Terpulang kembali kepada Belanda maunya apa? Saya melihat, Indonesia sudah memberikan sinyal halus ala ketimuran: karena diskusi yang tak jelas juntrungannya seputar Leopard, Indonesia tegas meninggalkan Belanda dan beralih ke Jerman. Karena sikapnya sendiri, Belanda bisa kehilangan posisi spesialnya dan terpinggirkan. Ke depan, prospek ekonomi Indonesia semakin cerah. Ada gula, ada semut, ada rijsttafel, pesta. Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol, Norwegia, Swedia, Cina, sekadar menyebut beberapa, antre untuk meningkatkan persahabatan dan memetik manfaat bersama. Kalau Belanda tidak bisa mengapresiasi perkembangan Indonesia baru, jangan harap akan bisa mendapatkan biefstuk, mungkin cuma sambal dan kroepoek saja.

Beestenmarkt, 04 Januari 2013

Keterangan penulis:
Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar